teater puspanegara

PUISI - PUISI
HUGENG S. D.

Isi :
Malam Terakhir 
Batu di Dadamu, Lang
Pahatan Riwayat Di Altar Perbatasan
Setangkai Daun Dan Surat Cinta
Setangkai Bunga Melepas Sore Berkabut
Sajak Kubur Sunyi
Dua Orang Tua
Satria vs Televisi
Kisah Pengantar Tidur
Sepotong Mantra Hujan
Wajah Di Sebuah Jalan Buntu
Di Pinggir Pasar Lebaran Kemarin
Episode Impian
Anggrek Jingga Dan Lelaki Pemuja
Terasing
Segelas Kopi Jawa
Bayang-Bayang
Pualam-pualam Penghuni Taman Keabadian
Tetabuhan Rindu
Kidung Rindu Di Ujung Daun
Kabar Tentang Kapal Karam
Mempelajari Keindahan Sunyi
Bahasa Air Dan Sketsa Bocah
Lelaki Dan Perempuan Di Suatu Malam



Malam Terakhir 

Sebuah awal cerita begitu musim mulai terbelah
Keindahannya adalah rindu berbulan-bulan
Dan pada malam yang mengantar sujud
Kutitipkan bait-bait puji jiwa merapuh
Di atas sajadah, wewangian tubuh menggoda
Dzikir menjadi mozaik dawam Ilahi rabbi membungkus tubuh fana
Perlahan memperpendek jarak antara kehendak dan makrifat
Ada alif lam lam ha menghias dada
Tempat muasal bergerak menuju garis akhir
Semakin dekat terompet Isrofil
Memecah kesunyian, memenuhi panggilan
(Sangkal, 2002)



Batu di Dadamu, Lang

Lukisan masih sebatas sketsa
Adalah tarian bisu kau bawa ke hadapanku
Menyusun adegan makan malam tanpa percakapan
Tak lebih sebongkah karang lautan
Keindahan terlanjur lenyap
Bergelimang hingga mencapai batas pujian
Bukankah kesombongan yang mengikat
Serupa serpih senyum tercecer entah ke mana
Meski kaki melangkah, kita enggan mencari
Diantara rumpun-rumpun berduri
Meninggalkan hitungan hari
Menjadi makin samar tertindih kemarau hatimu
Jika kelak angin mengecup lembut
Salamku hadir di sana
Selayaknya tak lekang tertampar ombak datang bertubi
Akan kupecah batu di dadamu
(Sangkal, 2002) 




Pahatan Riwayat Di Altar Perbatasan
 
Separuh menebar wangi, sedang sisanya kau kantongi
Pada jejak kelana yang tertinggal saat matahari berlumut tebal
Sederet riwayat berbingkai mawar ingin di pahat
Berpuluh tahun mengitari tumpukan tawa
Dan abad terseret siluet perih di permukaan dinding yang kian retak saja
Maka dimulailah episode impian
Kau dengan busur dan panah kehilangan sasaran
Berdebat melawan sunyi paruh zaman
Panik menggelepar dikerubut usia tua
Bergemerisik memburu suasana berkah
Sebelum kehidupan menempatkan diri
Terpaku menjumpai kenyataan bahwa pertanda yang diramalkan
Serupa hentakan keruh menyimpan rahwana
Seluruh kisah runtuh dalam petak buatan penggali hidup
Mengantar tubuh beranjak dari permainan menyedihkan
(MJ - Sangkal, 2002)





Setangkai Daun Dan Surat Cinta

Kau bukalah hati agar tak keliru menilai
Surat cinta di atas meja bukan kalimat basa-basi
Bila penyair sibuk bergurau dengan nasib mujur
Menarikan bahasa rindu pertengahan purnama
Hingga sepasang burung hantu mengguguk malu
Mengepak sayap menuju cericit anak-anak mereka
Ah, akan kau temukan suasana serupa
Seandainya badai kembali reda, dan kapal membawa hati melintasi
Baris-baris paragraf, meliuk menutur kisah lantas
Bersandar di dermaga mata beningmu
Setangkai daun sengaja kusertakan
Jangan segan menjamah bahasa bisunya
Gerakan terkadang terasa sunyi
Tentu agar dimengerti saat menterjemahkan keruh bermalam-malam
Menjadi purba tatkala waktunya tiba
Sebelum niscaya, sebelum redup cahaya hidup mengutuk kisah Qois-Laila,
Atau Romeo-Juliet, atau Roro Mendut-Pronocitro,
Atau Bangsacara-Ragapadmi, atau Bandung Bandawasa-Rara Jonggrang
Menjumpai kalimat akhir sebagai penutup menyedihkan
Jika senyummu masih terpahat sebagai karang batu
Jangan sampai bertemu garis nyata tak terelakkan
Engkau menyelam lautan sunyi terlalu dalam dan lupa jalan pulang
Bukalah hati sejauh waktu
Sebelum setangkai daun kering menyimpan kelu
(Ls - Sangkal, 2002) 




Setangkai Bunga Melepas Sore Berkabut

Pada setangkai bunga sepatu Juni luruh, memancar kemilau
Setitik air di atas pipi pacar lama
Serupa cerita kehilangan kalimat penutup
Meski pencarian telah melebar berhari-hari
Ini nyeri tiap kali tertusuk duri
Belum juga terlempar kata putus menyerah
Selain api padam perlahan, pertanda kalah
Manitik hati dan keadaan
Mataku lelah sudah
Diterpa musim yang bergerigi
Dan bintang tak kunjung datang
Berkembang-kembang, usang
Pada setangkai bunga sepatu
Air kembali luruh, juni beruban penuh
Paruh waktu kembali menjemput senja
Dan mengundang wajah-wajah masam
Melepas sore berkabut
Sebelum gelap mengurung dalam kerangkeng batu
(Sangkal 2002)



Sajak Kubur Sunyi

Sepersekian detik melompat pergi
Itukah senja temaram di hari berumur pendek ?
Sungguh, ia seperti tempat tinggal yang kau ceritakan
Semacam lagu usang milik peziarah kemalaman
"Namun ingatkan segera dugaanmu di kubur tua"
Dedaunan kamboja mencatat cerita-cerita panjang
Cintanya yang luruh, buru-buru hinggap di pundakmu
Kau suka kecupannya ?
Tiap lembar menyimpan jejak rajah kafilah
"Di sini sunyi bukan bait-bait sajak mati"
Diantara kerikil yang setia dengan dzikir
Wewangian kesturi menemani sang juru kunci
Menunggu pendatang baru
Kerap datang tak tentu waktu
"Kalaulah sampai, kau pasti bisa mengapai"
(Sangkal, 2002)




Dua Orang Tua

Di dekat jendela tanpa teralis
Wajah kacamata dan pintu jati mengantar ketukanmu perlahan
Menuju hati tua ini
Rindu berbulan-bulan tumpah seharian
Begitu lama aliran masa silam mengental
Tentang bidadari tetangga marah-marah kau kejar
Perkelahian di pinggir pasar Banjar
Atau mengulang isyarat pertanda yang kita baca tiap malam
Masuk seteguk-seteguk, sembunyi dibalik isi hati
"Tak perlu dirimu mengalah," Selamu
Sementara teh sengaja pahit tanpa gula mulai berkurang
Hingga tandas tinggal ampas
"Kurang ajar, itu masa lalu,"
Umpatku mengantar langkah kaki masuk dapur sepoci teh kembali meneruskan keakraban
Sampai lewat pukul lima
Matahari merubah warna cakrawala, merah tua
Bukan kau kehilangan kata
Tapi istrimu tentu duduk di beranda
Sepenuhnya percaya kau akan kembali
Jadi pulanglah,
Esok teh lebih kental lebih panas dari obrolan, umpatan
Dan gelak canda hari ini
Buatmu, hanya buatmu
(Sangkal, 2002)




Satria vs Televisi

Eee, peperangan tiap detik meletus sambung tak putus
Satria lahir mengisi wacana, apa termasuk kau ?
Lihat anak-anak, mereka pandai menghapal jam tayang kotak ajaib,
Satria bertempur melawan musuh abadi; Iklan
Dan pahlawan menjelma total, kau tahu gelar kehormatan ? ; My love VCD, my friend PS
Bukannya menemani purnama seperti masa dulu
Dengan jerit dan teriak parau separuh merdu
Menuai permainan satu, habis, lantas berganti menuju keceriaan baru
Siapa berani marah ?
Jika waktu menunjuk pukul sebelas
Kecuali ibu bapak, kaki yang terinjak, tubuh yang terlabrak
Atau aku yang selalu ketahuan saat sembunyi di balik pohon manggis
Maka semua terhenti
Mengantar mimpi malam nanti
Satu purnama sebelum pagi Satria lahir kembali
Eee, tapi jelas bukan dari kotak televisi
(Sangkal, 2002) 




Kisah Pengantar Tidur

Waktu bukanlah mimpi tentang hujan
Serupa rintik menderas, kau anggap hanya pandai mengukir
Tanah retak musim pengasingan
Laut menandai bahasa kesabaran
Mengumpulkan resah sepanjang bumi perjalanan
Memahaminya sebagai bidadari bijak milik Eden
Terbang menuju angkasa, selayaknya kekasih
"Tidakkah kau mulai menarikan potongan kisah Rama-Shinta
Seperti pisau meliuk menembus jumud percakapan ?"
Di akhir malam, selalu korek api menyala
Fajar mencampak selimut usang peraduan
Aku, engkau, dan kerlip cahaya gelisah
Mulai meresapi hari dengan segudang impian masa kecil
Musim berpijak dan terus berpindah seakan ritual tahunan
Tatkala kau kembali menjumpai lelah
Sebagai pengantar tidur
Sebuah pertanyaan di atas sajadah tua
Sehabis sujud yang lama
"Benarkah kematian terujar sendiri-sendiri ?"
(Tak perlu lupa pada kenangan, tak lagi kau berdiri di tempat)
( SANGKAL KOGE, 2001)




Sepotong Mantra Hujan

Tiap kali merapal mantra hujan, namamu muncul bagai anai-anai
Merambat perlahan begitu jubah malam berkibar gagah
Dan menjelang pagi sempurna
Mengintan permata layaknya dongeng bunda
Menunggu berputarnya kehidupan kenyang menetek
Luapan kasih dari dada montoknya
Jika keseganan mengekalkan selimut di tempat peristirahatan
Mendekap hangat namamu dan menemukan mimpi indah
Siapa berani mempertanyakan kerinduanku
Selain sunyi duduk di kursi goyang
Dan meja berserak puluhan surat cinta
Hujan malam ini tak pasti bisa mengajari, dengusmu
Tapi hujan terlanjur turun.
Saperti biasa, mantra
Tak sembarang berhenti di tengah perjalanan
Apalagi berlari meninggalkan namamu
Dingin dan sendiri
Karena cahaya terus menyambar basah bumi
Uh, buritan lelah bertengger layu di pelupuk mata
Jika doa mau terjaga hingga matahari melangkah cerah
Para pengembara pasti menjaga namamu bersama sepotong mantra hujan
(NURMA, 2001)



Wajah Di Sebuah Jalan Buntu

Sungguh meyakinkan, jemari bagai kesetanan menekan tuts
Memutuskan menutup mata pada keghaliban isyarat
Serta merta menuduhnya sebagai kumpulan penjahat
Duduk di kursi pesakitan
Ini lampu merah sebenarnya, menyala sudah
Berabad-abad silam
Berkedip dan berputar seperti mercusuar di tengah lautan
Tunjukkanlah sayang, dimana perbedaan lampu merah yang harus dijaga,
Yang boleh di terjang ?
Karena persimpangan mulai menempati ruang
Kata-kata terjarah laju nafsu yang tergesa
Melaju makin cepat tak terukur waktu
Mirip kesan menyegaja luka atau teriakan parau
Tertulis pada wajah lusuh
Mencari di seputar beranda jiwa, adakah kesejatian
Semayam damai atau sebaliknya
Terbang tinggi menjauhi tubuh rapuh, mendekati sepi
Barangkali gugusan kacau ini belum sempat terpetakan
Hingga semua menggeleng buntu
(SANGKAL, 2001)



Di Pinggir Pasar Lebaran Kemarin

Orang-orang lalu lalang
Kesibukan menggelibat, mempercepat langkah
Diantara nego harga dan tatapan menunggu deretan penjual
Sebelum sore itu, cahaya kemerahan habis tertutup adzan yang dinanti
Segerumbul bocah dengan alif, ba, dan tsa di serambi musholla
Semacam tiang, jika seorang pengembara tegak menunggu
Jika tumpukan keranjang buah berkurang separuh
Mungkin berkodi-kodi pakaian ditukar dengan segepok uang saku
Berpikir bahwa esok hari pasti lebih laris lagi
Siapa saja yang akan menebar tawa selepas bebuka
Selain karena lezat hidangan tertata di depan mata
Dan pakaian buat lebaran, kamis atau jumat
Bukan lagi persoalan
Sebab serupa hitungan untung rugi
Di atas tombol-tombol kalkulator
Berubah cepat dari hari ke hari
Memainkan doa agar secepatnya menjadi pasti
(SANGKAL 2002)




Episode Impian

Tak hanya sekali tatapan mata menjalar jadi isi
Ruang tanpa bentuk
Peduli kapan waktu paling tepat terus hadir menyodorkan bahasa antara senja dan kegelapan
Ejalah dengan telapak atau salin pada buku harian jiwamu, pintanya
Sambil mengunyah ketakutanku sekerut-sekerut
Sepiring sajian santap malam tersaji dingin seperti sajak sunyi
Tentu jadi penyair lebih nyaman dari sekedar
Menyetubuhi judul-judul puitis yang diimpikan sebagai hiasan koran
Gemerisik keceriaan musim kembali menghangat
Tapi serasa sendiri aku di tengah gebalau
Jatuh ke dalam jurang menganga sisa-sisa maut
Seolah hanya reruntuhan dari ceceran rasa malu
Tersayat dan layu
Garis tangan terlalu jelas terlihat sebelum mengeja
Purnama berbayang-bayang tandas
Kata-katamu mirip gelombang parau datang bertubi
Jika benar aku penyair dengan setumpuk sajaknya
Zaman berceloteh ringan tentang episode impian
Engkaulah pahlawan cahaya sebenarnya
(SANGKAL KOGE 2001; Syilfi Purnama Sari)



Anggrek Jingga Dan Lelaki Pemuja

Anggrek jingga, separuh mekar di paruh waktu menjelang senja
Siluet cahaya memendar sayup arah barat
Luruh menata bayang tiap helai kelopak
Demi mempersiapkan perjamuan penuh malam nanti
Seekor kupu malam mulai membuka mata
Memancar harap sore menghilang secepatnya
Ada yang perlu kukerjakan malam nanti, bisiknya pada taman suasana
Tempat duduk seorang lelaki pemuja hari
Bermimpi sepanjang sore terkasih hilang sepi
Menganyam ranjang cemara dan kerikil-kerikil hati
Adakah yang perlu dikasihani
Sebab kereta sebentar lagi bertolak menuju kota cahaya
Sebelum pemujaan menuai puncak kemenangan
Maka bukan duri membelit kaki-kaki yang menghalangi
Wirid bebungaan senantiasa menawarkan keharuman makna
Meski terkadang luka, di atas anggrek yang semadi menggumam dzikir
Sehabis terserimpung hujan angin
Takkkan sampai hingga puncak langit
Sebelum rasa penghambaan mengunyah habis
Deretan metafor kesombongan
Milik sang diri
(Baturaden, 2002)




Terasing

Deru di atas perempatan jalan meningkahi cerecau prenjak kecil
Seperti berpantomim melawan asap dan kendaraan
Gerak gagu di antara dahan cemara tua
Memainkan mimpi-mimpi masa lalu sewaktu sepeda, delman, Juga becak bersahaja
Bersuara senyaring raja, terbang menjelajah keriangan alam
Memancing dua orang tua melirik lantas melempar tepukan memuji
Hingga kini huru-hara kian menyergap
Menyisakan hitungan waktu yang menyusut cepat
Sementara perempatan hanya menawarkan tarian beringas
Mengepul racun dan membuang suara
Malu mengepak sayap lantaran kalah
Diam di ujung senapan pemburu-pemburu berdasi
Sampai ajal datang nanti
(Boulevard UGM, 2001)




Segelas Kopi Jawa

Mari duduk, segelas kopi jawa kental manis mengepul panas
Biar keramahan menyedu diri bersama senyum renyah
Hingga hangat larut terseruput sempurna
Ah, kita memang asli jawa
Banyak cerita, basa-basi, dan lelah hati
Kabar memancar jauh mengundang negeri seberang
Memastikan nyanyian surga
Bersama pintu yang terbuka, menawarkan pelukan mesra
Segelas kopi jawa di atas meja
(Sangkakala, 2000)





Bayang-Bayang

Serupa wajah kering nestapa
Kegalauan ini kau bilang tanpa daya
Mentertawakan lembaran-lembaran risau di atas api
Sekerat luka sesaat sebelum terbakar habis wirid ribuan dzikrul ghofilin
Benar-benar tanpa rupa, katamu
Kehilangan tangis demi menyentuh kemerlip kecil harapan
Bukan gelar-gelar kehormatan.
Biarlah demikian, layaknya suluk pengembaraan
Seorang pecinta yang memenjara gebalau dalam diam
Maka camkan baik-baik
Hanya lewat permainan hati bersayap
Kilau cahaya takkan tenggelam di tertutup jelaga
Hingga terjaga dari kubangan lumpur bertahun-tahun
Seumpama dosa menjelma batu
Secuil-secuil gumpalannya lepas seusai ritual
Dan andainya engkau bayanganku
Tiap cahaya selalu terperosok lubang curiga
Satu lawan satu bertaruh
Siapa menjadi siapa, apa berubah apa
Karena tak ada yang berpikir
Minyak merayu air
Berdoa keduanya menyatu dalam kehidupan nyata
Seperti aku adanya
(Kotagede, 2000)




Pualam-pualam Penghuni Taman Keabadian

Jika hujan serupa nyanyian ritmis kegembiraan langit
Dongengan masa kecil pasti mengepung dengan lapisan selimut nyamannya
Di atas tubuh-tubuh mungil
Menunggu suara lembut pengantar tidur
Menyambung kisah hari kemarin
Bukan tentang perang Baratayuda di padang Afganistan
Bukan juga Amerika di bumi Kurusetra
Namun bidadari surga tersenyum damai
Polesan pualam penghuni taman-taman keabadian
Ibu, ceritakan sekali lagi kisah mereka
(PPNU, 2002)




Tetabuhan Rindu

Semalam, memetakan sunyi di mata beningmu
Mengalir angin dengan desaunya yang retak
Penuh sembilu saat duduk menghadapi kerisauan berbelit-belit
Memperlambat putaran jarum jam di antara kita
Lebih memilih dinding pembatas sebagai jarak yang makin tebal
Tersentuh rasa gugup berkepanjangan
Jika ada yang kembali terusik
Adalah aku mencoba menelusuri jejak sepeninggalmu
Setengah tahun lalu.
Memupus segumpal rasa murung di dada ini
Agar kelak tak terdengar anak cucu
Sang kakek tua memainkan melodrama gincu dan sinetron lucu
Memanggil-manggil bidadari sepi tak kunjung datang
Memberitahu kapan jam keberangkatan berdentang keras
Beranjak dari suasana getas menyedihkan
Menjumpai aliran kerinduan pada garis tangan
Agar kembali, penggalan senyum itu dengan sempurna
(Ls-Prambanan, Juli 2002)





Kidung Rindu Di Ujung Daun

Jejak terhapus risau
Angin hilir mudik memecah suasana parau
Suara-suara ayam jantan di balik kerimbunan hutan
Menawan sekelumit galau, terpaku separuh kelu
Ini keruh hendak di buang ke mana
Membuat batin senantiasa dahaga
Angin menunggu-nunggu di ujung dedaunan
Bintang tercium geram
Maka kidungmu kembali menjelma penuh nyaman
Merayu semesta kerinduan
Dengan pelan membawanya
Menuju sajadah(ranjang) pualam berselimut dzikir bunga-bunga
(Yogyakarta, Januari 2003)




Kabar Tentang Kapal Karam

Hingga abad memenjara sejarah taman bunga
Kidung-kidung camar terbawa kabar
Mampir sejenak di lembah-lembah sunyi para pencari
Pertanyaan segera berkerumun mengelilingi
Seputar kapal karam mencium laut dalam
Mengukir riwayat sia-sia di sela keangkuhan yang terkalahkan
Maka penyesalan kembali tertuang
Mahar memulai wirid menuju alam kelanggengan
Menumbuh-kembangkan taman kekhusyukan
Jauh di dasar sana
Adalah dzikir yang tak mengenal fana
(Sangkakala, Januari 2003)



Mempelajari Keindahan Sunyi

Lembar pertama dari buku pertama yang harus dibaca; Kau ??
Dari kejauhan suasana, keindahan sunyi bergerak pelan seirama waktu yang belum pernah menghentikan putarannya, walau hanya sekali. Membukanya berarti menyibak realitas disekeliling manusia sebagai literatur hidup. Misalnya kesakitan, luka, atau pun kesedihan;
Ada yang mempercayai bahwa semuanya berjajar seimbang dengan tawa bahagia, senyum kekaguman, atau pun dada yang berguncang karena menerima suara dari mulut, setelah mengagumi keceriaan musim. Sama belaka.
Realitas itulah yang akan mengantar tiap-tiap hati yang mengerti, bahwa sesungguhnya dibalik manuskrip-manuskrip purba, selalu hadir cerita yang berulang dan akan terus berulang tiap kali generasi baru tegak berdiri menciptakan peradaban baru. Ya, semacam bahasa tanpa kata yang mengajari manusia agar menjadi lebih arif membaca makna.
Ahh, jangan buru-buru tertawa atau terkejut. Bukankah di kedalaman hakekat makna, akar-akar akan berusaha menyerap semua yang telah tertinggal dari sekian peristiwa. Sulur-sulurnya memanjang, memberi kabar,
"Bagi tetumbuhan sunyi di atas sana, selalu tersedia saat untuk berbunga dan berbuah. Maka tumbuhlah sebagaimana hati memahami jejak kesabaran, hingga tiba lingkaran waktu memberi kesempatan untuk menumpahkan segala macam keharuman pada siapa pun, atau apa pun yang dikehendaki."
Untuk keajaiban pertanda, rasanya saat seperti itu pasti akan datang.
Sebuah kemungkinan yang entah kapan. Ini rahasia Tuhan; Persis seperti mempelajari keindahan sunyi.




Bahasa Air Dan Sketsa Bocah

Bahasa air meliuk lincah diantara deretan rumah yang runtuh kehilangan atap dan jerit bocah di malam buta. Bagi penyair, sang bahasa memainkan ribuan kata, mengotak-atik satu per satu hingga pada selembar kertas muncul dua buah sajak kelu dan dimuat di kolom budaya koran hari minggu. Bagi pelukis, kanvasnya terus merengek agar segera terisi warna.
Dan, walau dengan tangannya yang gemetar, ia bisa mengabadikan ilham sebagai sketsa bisu untuk pameran dua hari ke depan.
Lalu, si bocah dekat ibukota sana, bahasa air kembali bertutur mesra tentang luapan yang menyakitkan. (2002)



Lelaki Dan Perempuan Di Suatu Malam

Garis-garis itu mulai bercerita tanpa perlu bersuara. Sementara di ujung kerinduan, sayap-sayap birahi merubah ketenangan suasana menjadi semakin panas. Padahal hujan di luar begitu deras menghantam gelapnya malam.
Mafhumlah waktu. Bahwa adegan terseret semakin dalam dan bergejolak liar. Mungkin seperti pasang, naik tanpa kendali, mengisyaratkan badai sebelum para petualang laut sadar, saatnya menggulung layar.
Tapi, siapa peduli ? Hingga fajar kembali mengetuk pintu, yang begitu terbuka, seperti hari-hari kemarin; Ada tawa menyambut uluran selembar lima puluh ribu dari domper coklat tua merk Gucci. (2002
)



Copyright (c) Teater Puspanegara
2003