PUISI
- PUISI
Isi :HUGENG S. D. Malam Terakhir Sebuah awal cerita begitu musim mulai terbelah Keindahannya adalah rindu berbulan-bulan Dan pada malam yang mengantar sujud Kutitipkan bait-bait puji jiwa merapuh Di atas sajadah, wewangian tubuh menggoda Dzikir menjadi mozaik dawam Ilahi rabbi membungkus tubuh fana Perlahan memperpendek jarak antara kehendak dan makrifat Ada alif lam lam ha menghias dada Tempat muasal bergerak menuju garis akhir Semakin dekat terompet Isrofil Memecah kesunyian, memenuhi panggilan (Sangkal, 2002) Batu di Dadamu, Lang Lukisan masih sebatas sketsa Adalah tarian bisu kau bawa ke hadapanku Menyusun adegan makan malam tanpa percakapan Tak lebih sebongkah karang lautan Keindahan terlanjur lenyap Bergelimang hingga mencapai batas pujian Bukankah kesombongan yang mengikat Serupa serpih senyum tercecer entah ke mana Meski kaki melangkah, kita enggan mencari Diantara rumpun-rumpun berduri Meninggalkan hitungan hari Menjadi makin samar tertindih kemarau hatimu Jika kelak angin mengecup lembut Salamku hadir di sana Selayaknya tak lekang tertampar ombak datang bertubi Akan kupecah batu di dadamu (Sangkal, 2002) Pahatan Riwayat Di Altar Perbatasan Separuh menebar wangi, sedang sisanya kau kantongi Pada jejak kelana yang tertinggal saat matahari berlumut tebal Sederet riwayat berbingkai mawar ingin di pahat Berpuluh tahun mengitari tumpukan tawa Dan abad terseret siluet perih di permukaan dinding yang kian retak saja Maka dimulailah episode impian Kau dengan busur dan panah kehilangan sasaran Berdebat melawan sunyi paruh zaman Panik menggelepar dikerubut usia tua Bergemerisik memburu suasana berkah Sebelum kehidupan menempatkan diri Terpaku menjumpai kenyataan bahwa pertanda yang diramalkan Serupa hentakan keruh menyimpan rahwana Seluruh kisah runtuh dalam petak buatan penggali hidup Mengantar tubuh beranjak dari permainan menyedihkan (MJ - Sangkal, 2002) Setangkai Daun Dan Surat Cinta Kau bukalah hati agar tak keliru menilai Surat cinta di atas meja bukan kalimat basa-basi Bila penyair sibuk bergurau dengan nasib mujur Menarikan bahasa rindu pertengahan purnama Hingga sepasang burung hantu mengguguk malu Mengepak sayap menuju cericit anak-anak mereka Ah, akan kau temukan suasana serupa Seandainya badai kembali reda, dan kapal membawa hati melintasi Baris-baris paragraf, meliuk menutur kisah lantas Bersandar di dermaga mata beningmu Setangkai daun sengaja kusertakan Jangan segan menjamah bahasa bisunya Gerakan terkadang terasa sunyi Tentu agar dimengerti saat menterjemahkan keruh bermalam-malam Menjadi purba tatkala waktunya tiba Sebelum niscaya, sebelum redup cahaya hidup mengutuk kisah Qois-Laila, Atau Romeo-Juliet, atau Roro Mendut-Pronocitro, Atau Bangsacara-Ragapadmi, atau Bandung Bandawasa-Rara Jonggrang Menjumpai kalimat akhir sebagai penutup menyedihkan Jika senyummu masih terpahat sebagai karang batu Jangan sampai bertemu garis nyata tak terelakkan Engkau menyelam lautan sunyi terlalu dalam dan lupa jalan pulang Bukalah hati sejauh waktu Sebelum setangkai daun kering menyimpan kelu (Ls - Sangkal, 2002) Setangkai Bunga Melepas Sore Berkabut Pada setangkai bunga sepatu Juni luruh, memancar kemilau Setitik air di atas pipi pacar lama Serupa cerita kehilangan kalimat penutup Meski pencarian telah melebar berhari-hari Ini nyeri tiap kali tertusuk duri Belum juga terlempar kata putus menyerah Selain api padam perlahan, pertanda kalah Manitik hati dan keadaan Mataku lelah sudah Diterpa musim yang bergerigi Dan bintang tak kunjung datang Berkembang-kembang, usang Pada setangkai bunga sepatu Air kembali luruh, juni beruban penuh Paruh waktu kembali menjemput senja Dan mengundang wajah-wajah masam Melepas sore berkabut Sebelum gelap mengurung dalam kerangkeng batu (Sangkal 2002) Sajak Kubur Sunyi Sepersekian detik melompat pergi Itukah senja temaram di hari berumur pendek ? Sungguh, ia seperti tempat tinggal yang kau ceritakan Semacam lagu usang milik peziarah kemalaman "Namun ingatkan segera dugaanmu di kubur tua" Dedaunan kamboja mencatat cerita-cerita panjang Cintanya yang luruh, buru-buru hinggap di pundakmu Kau suka kecupannya ? Tiap lembar menyimpan jejak rajah kafilah "Di sini sunyi bukan bait-bait sajak mati" Diantara kerikil yang setia dengan dzikir Wewangian kesturi menemani sang juru kunci Menunggu pendatang baru Kerap datang tak tentu waktu "Kalaulah sampai, kau pasti bisa mengapai" (Sangkal, 2002) Dua Orang Tua Di dekat jendela tanpa teralis Wajah kacamata dan pintu jati mengantar ketukanmu perlahan Menuju hati tua ini Rindu berbulan-bulan tumpah seharian Begitu lama aliran masa silam mengental Tentang bidadari tetangga marah-marah kau kejar Perkelahian di pinggir pasar Banjar Atau mengulang isyarat pertanda yang kita baca tiap malam Masuk seteguk-seteguk, sembunyi dibalik isi hati "Tak perlu dirimu mengalah," Selamu Sementara teh sengaja pahit tanpa gula mulai berkurang Hingga tandas tinggal ampas "Kurang ajar, itu masa lalu," Umpatku mengantar langkah kaki masuk dapur sepoci teh kembali meneruskan keakraban Sampai lewat pukul lima Matahari merubah warna cakrawala, merah tua Bukan kau kehilangan kata Tapi istrimu tentu duduk di beranda Sepenuhnya percaya kau akan kembali Jadi pulanglah, Esok teh lebih kental lebih panas dari obrolan, umpatan Dan gelak canda hari ini Buatmu, hanya buatmu (Sangkal, 2002) Satria vs Televisi Eee, peperangan tiap detik meletus sambung tak putus Satria lahir mengisi wacana, apa termasuk kau ? Lihat anak-anak, mereka pandai menghapal jam tayang kotak ajaib, Satria bertempur melawan musuh abadi; Iklan Dan pahlawan menjelma total, kau tahu gelar kehormatan ? ; My love VCD, my friend PS Bukannya menemani purnama seperti masa dulu Dengan jerit dan teriak parau separuh merdu Menuai permainan satu, habis, lantas berganti menuju keceriaan baru Siapa berani marah ? Jika waktu menunjuk pukul sebelas Kecuali ibu bapak, kaki yang terinjak, tubuh yang terlabrak Atau aku yang selalu ketahuan saat sembunyi di balik pohon manggis Maka semua terhenti Mengantar mimpi malam nanti Satu purnama sebelum pagi Satria lahir kembali Eee, tapi jelas bukan dari kotak televisi (Sangkal, 2002) Kisah Pengantar Tidur Waktu bukanlah mimpi tentang hujan Serupa rintik menderas, kau anggap hanya pandai mengukir Tanah retak musim pengasingan Laut menandai bahasa kesabaran Mengumpulkan resah sepanjang bumi perjalanan Memahaminya sebagai bidadari bijak milik Eden Terbang menuju angkasa, selayaknya kekasih "Tidakkah kau mulai menarikan potongan kisah Rama-Shinta Seperti pisau meliuk menembus jumud percakapan ?" Di akhir malam, selalu korek api menyala Fajar mencampak selimut usang peraduan Aku, engkau, dan kerlip cahaya gelisah Mulai meresapi hari dengan segudang impian masa kecil Musim berpijak dan terus berpindah seakan ritual tahunan Tatkala kau kembali menjumpai lelah Sebagai pengantar tidur Sebuah pertanyaan di atas sajadah tua Sehabis sujud yang lama "Benarkah kematian terujar sendiri-sendiri ?" (Tak perlu lupa pada kenangan, tak lagi kau berdiri di tempat) ( SANGKAL KOGE, 2001) Sepotong Mantra Hujan Tiap kali merapal mantra hujan, namamu muncul bagai anai-anai Merambat perlahan begitu jubah malam berkibar gagah Dan menjelang pagi sempurna Mengintan permata layaknya dongeng bunda Menunggu berputarnya kehidupan kenyang menetek Luapan kasih dari dada montoknya Jika keseganan mengekalkan selimut di tempat peristirahatan Mendekap hangat namamu dan menemukan mimpi indah Siapa berani mempertanyakan kerinduanku Selain sunyi duduk di kursi goyang Dan meja berserak puluhan surat cinta Hujan malam ini tak pasti bisa mengajari, dengusmu Tapi hujan terlanjur turun. Saperti biasa, mantra Tak sembarang berhenti di tengah perjalanan Apalagi berlari meninggalkan namamu Dingin dan sendiri Karena cahaya terus menyambar basah bumi Uh, buritan lelah bertengger layu di pelupuk mata Jika doa mau terjaga hingga matahari melangkah cerah Para pengembara pasti menjaga namamu bersama sepotong mantra hujan (NURMA, 2001) Wajah Di Sebuah Jalan Buntu Sungguh meyakinkan, jemari bagai kesetanan menekan tuts Memutuskan menutup mata pada keghaliban isyarat Serta merta menuduhnya sebagai kumpulan penjahat Duduk di kursi pesakitan Ini lampu merah sebenarnya, menyala sudah Berabad-abad silam Berkedip dan berputar seperti mercusuar di tengah lautan Tunjukkanlah sayang, dimana perbedaan lampu merah yang harus dijaga, Yang boleh di terjang ? Karena persimpangan mulai menempati ruang Kata-kata terjarah laju nafsu yang tergesa Melaju makin cepat tak terukur waktu Mirip kesan menyegaja luka atau teriakan parau Tertulis pada wajah lusuh Mencari di seputar beranda jiwa, adakah kesejatian Semayam damai atau sebaliknya Terbang tinggi menjauhi tubuh rapuh, mendekati sepi Barangkali gugusan kacau ini belum sempat terpetakan Hingga semua menggeleng buntu (SANGKAL, 2001) Di Pinggir Pasar Lebaran Kemarin Orang-orang lalu lalang Kesibukan menggelibat, mempercepat langkah Diantara nego harga dan tatapan menunggu deretan penjual Sebelum sore itu, cahaya kemerahan habis tertutup adzan yang dinanti Segerumbul bocah dengan alif, ba, dan tsa di serambi musholla Semacam tiang, jika seorang pengembara tegak menunggu Jika tumpukan keranjang buah berkurang separuh Mungkin berkodi-kodi pakaian ditukar dengan segepok uang saku Berpikir bahwa esok hari pasti lebih laris lagi Siapa saja yang akan menebar tawa selepas bebuka Selain karena lezat hidangan tertata di depan mata Dan pakaian buat lebaran, kamis atau jumat Bukan lagi persoalan Sebab serupa hitungan untung rugi Di atas tombol-tombol kalkulator Berubah cepat dari hari ke hari Memainkan doa agar secepatnya menjadi pasti (SANGKAL 2002) Episode Impian Tak hanya sekali tatapan mata menjalar jadi isi Ruang tanpa bentuk Peduli kapan waktu paling tepat terus hadir menyodorkan bahasa antara senja dan kegelapan Ejalah dengan telapak atau salin pada buku harian jiwamu, pintanya Sambil mengunyah ketakutanku sekerut-sekerut Sepiring sajian santap malam tersaji dingin seperti sajak sunyi Tentu jadi penyair lebih nyaman dari sekedar Menyetubuhi judul-judul puitis yang diimpikan sebagai hiasan koran Gemerisik keceriaan musim kembali menghangat Tapi serasa sendiri aku di tengah gebalau Jatuh ke dalam jurang menganga sisa-sisa maut Seolah hanya reruntuhan dari ceceran rasa malu Tersayat dan layu Garis tangan terlalu jelas terlihat sebelum mengeja Purnama berbayang-bayang tandas Kata-katamu mirip gelombang parau datang bertubi Jika benar aku penyair dengan setumpuk sajaknya Zaman berceloteh ringan tentang episode impian Engkaulah pahlawan cahaya sebenarnya (SANGKAL KOGE 2001; Syilfi Purnama Sari) Anggrek Jingga Dan Lelaki Pemuja Anggrek jingga, separuh mekar di paruh waktu menjelang senja Siluet cahaya memendar sayup arah barat Luruh menata bayang tiap helai kelopak Demi mempersiapkan perjamuan penuh malam nanti Seekor kupu malam mulai membuka mata Memancar harap sore menghilang secepatnya Ada yang perlu kukerjakan malam nanti, bisiknya pada taman suasana Tempat duduk seorang lelaki pemuja hari Bermimpi sepanjang sore terkasih hilang sepi Menganyam ranjang cemara dan kerikil-kerikil hati Adakah yang perlu dikasihani Sebab kereta sebentar lagi bertolak menuju kota cahaya Sebelum pemujaan menuai puncak kemenangan Maka bukan duri membelit kaki-kaki yang menghalangi Wirid bebungaan senantiasa menawarkan keharuman makna Meski terkadang luka, di atas anggrek yang semadi menggumam dzikir Sehabis terserimpung hujan angin Takkkan sampai hingga puncak langit Sebelum rasa penghambaan mengunyah habis Deretan metafor kesombongan Milik sang diri (Baturaden, 2002) Terasing Deru di atas perempatan jalan meningkahi cerecau prenjak kecil Seperti berpantomim melawan asap dan kendaraan Gerak gagu di antara dahan cemara tua Memainkan mimpi-mimpi masa lalu sewaktu sepeda, delman, Juga becak bersahaja Bersuara senyaring raja, terbang menjelajah keriangan alam Memancing dua orang tua melirik lantas melempar tepukan memuji Hingga kini huru-hara kian menyergap Menyisakan hitungan waktu yang menyusut cepat Sementara perempatan hanya menawarkan tarian beringas Mengepul racun dan membuang suara Malu mengepak sayap lantaran kalah Diam di ujung senapan pemburu-pemburu berdasi Sampai ajal datang nanti (Boulevard UGM, 2001) Segelas Kopi Jawa Mari duduk, segelas kopi jawa kental manis mengepul panas Biar keramahan menyedu diri bersama senyum renyah Hingga hangat larut terseruput sempurna Ah, kita memang asli jawa Banyak cerita, basa-basi, dan lelah hati Kabar memancar jauh mengundang negeri seberang Memastikan nyanyian surga Bersama pintu yang terbuka, menawarkan pelukan mesra Segelas kopi jawa di atas meja (Sangkakala, 2000) Bayang-Bayang Serupa wajah kering nestapa Kegalauan ini kau bilang tanpa daya Mentertawakan lembaran-lembaran risau di atas api Sekerat luka sesaat sebelum terbakar habis wirid ribuan dzikrul ghofilin Benar-benar tanpa rupa, katamu Kehilangan tangis demi menyentuh kemerlip kecil harapan Bukan gelar-gelar kehormatan. Biarlah demikian, layaknya suluk pengembaraan Seorang pecinta yang memenjara gebalau dalam diam Maka camkan baik-baik Hanya lewat permainan hati bersayap Kilau cahaya takkan tenggelam di tertutup jelaga Hingga terjaga dari kubangan lumpur bertahun-tahun Seumpama dosa menjelma batu Secuil-secuil gumpalannya lepas seusai ritual Dan andainya engkau bayanganku Tiap cahaya selalu terperosok lubang curiga Satu lawan satu bertaruh Siapa menjadi siapa, apa berubah apa Karena tak ada yang berpikir Minyak merayu air Berdoa keduanya menyatu dalam kehidupan nyata Seperti aku adanya (Kotagede, 2000) Pualam-pualam Penghuni Taman Keabadian Jika hujan serupa nyanyian ritmis kegembiraan langit Dongengan masa kecil pasti mengepung dengan lapisan selimut nyamannya Di atas tubuh-tubuh mungil Menunggu suara lembut pengantar tidur Menyambung kisah hari kemarin Bukan tentang perang Baratayuda di padang Afganistan Bukan juga Amerika di bumi Kurusetra Namun bidadari surga tersenyum damai Polesan pualam penghuni taman-taman keabadian Ibu, ceritakan sekali lagi kisah mereka (PPNU, 2002) Tetabuhan Rindu Semalam, memetakan sunyi di mata beningmu Mengalir angin dengan desaunya yang retak Penuh sembilu saat duduk menghadapi kerisauan berbelit-belit Memperlambat putaran jarum jam di antara kita Lebih memilih dinding pembatas sebagai jarak yang makin tebal Tersentuh rasa gugup berkepanjangan Jika ada yang kembali terusik Adalah aku mencoba menelusuri jejak sepeninggalmu Setengah tahun lalu. Memupus segumpal rasa murung di dada ini Agar kelak tak terdengar anak cucu Sang kakek tua memainkan melodrama gincu dan sinetron lucu Memanggil-manggil bidadari sepi tak kunjung datang Memberitahu kapan jam keberangkatan berdentang keras Beranjak dari suasana getas menyedihkan Menjumpai aliran kerinduan pada garis tangan Agar kembali, penggalan senyum itu dengan sempurna (Ls-Prambanan, Juli 2002) Kidung Rindu Di Ujung Daun Jejak terhapus risau Angin hilir mudik memecah suasana parau Suara-suara ayam jantan di balik kerimbunan hutan Menawan sekelumit galau, terpaku separuh kelu Ini keruh hendak di buang ke mana Membuat batin senantiasa dahaga Angin menunggu-nunggu di ujung dedaunan Bintang tercium geram Maka kidungmu kembali menjelma penuh nyaman Merayu semesta kerinduan Dengan pelan membawanya Menuju sajadah(ranjang) pualam berselimut dzikir bunga-bunga (Yogyakarta, Januari 2003) Kabar Tentang Kapal Karam Hingga abad memenjara sejarah taman bunga Kidung-kidung camar terbawa kabar Mampir sejenak di lembah-lembah sunyi para pencari Pertanyaan segera berkerumun mengelilingi Seputar kapal karam mencium laut dalam Mengukir riwayat sia-sia di sela keangkuhan yang terkalahkan Maka penyesalan kembali tertuang Mahar memulai wirid menuju alam kelanggengan Menumbuh-kembangkan taman kekhusyukan Jauh di dasar sana Adalah dzikir yang tak mengenal fana (Sangkakala, Januari 2003) Mempelajari Keindahan Sunyi Lembar pertama dari buku pertama yang harus dibaca; Kau ?? Dari kejauhan suasana, keindahan sunyi bergerak pelan seirama waktu yang belum pernah menghentikan putarannya, walau hanya sekali. Membukanya berarti menyibak realitas disekeliling manusia sebagai literatur hidup. Misalnya kesakitan, luka, atau pun kesedihan; Ada yang mempercayai bahwa semuanya berjajar seimbang dengan tawa bahagia, senyum kekaguman, atau pun dada yang berguncang karena menerima suara dari mulut, setelah mengagumi keceriaan musim. Sama belaka. Realitas itulah yang akan mengantar tiap-tiap hati yang mengerti, bahwa sesungguhnya dibalik manuskrip-manuskrip purba, selalu hadir cerita yang berulang dan akan terus berulang tiap kali generasi baru tegak berdiri menciptakan peradaban baru. Ya, semacam bahasa tanpa kata yang mengajari manusia agar menjadi lebih arif membaca makna. Ahh, jangan buru-buru tertawa atau terkejut. Bukankah di kedalaman hakekat makna, akar-akar akan berusaha menyerap semua yang telah tertinggal dari sekian peristiwa. Sulur-sulurnya memanjang, memberi kabar, "Bagi tetumbuhan sunyi di atas sana, selalu tersedia saat untuk berbunga dan berbuah. Maka tumbuhlah sebagaimana hati memahami jejak kesabaran, hingga tiba lingkaran waktu memberi kesempatan untuk menumpahkan segala macam keharuman pada siapa pun, atau apa pun yang dikehendaki." Untuk keajaiban pertanda, rasanya saat seperti itu pasti akan datang. Sebuah kemungkinan yang entah kapan. Ini rahasia Tuhan; Persis seperti mempelajari keindahan sunyi. Bahasa Air Dan Sketsa Bocah Bahasa air meliuk lincah diantara deretan rumah yang runtuh kehilangan atap dan jerit bocah di malam buta. Bagi penyair, sang bahasa memainkan ribuan kata, mengotak-atik satu per satu hingga pada selembar kertas muncul dua buah sajak kelu dan dimuat di kolom budaya koran hari minggu. Bagi pelukis, kanvasnya terus merengek agar segera terisi warna. Dan, walau dengan tangannya yang gemetar, ia bisa mengabadikan ilham sebagai sketsa bisu untuk pameran dua hari ke depan. Lalu, si bocah dekat ibukota sana, bahasa air kembali bertutur mesra tentang luapan yang menyakitkan. (2002) Lelaki Dan Perempuan Di Suatu Malam Garis-garis itu mulai bercerita tanpa perlu bersuara. Sementara di ujung kerinduan, sayap-sayap birahi merubah ketenangan suasana menjadi semakin panas. Padahal hujan di luar begitu deras menghantam gelapnya malam. Mafhumlah waktu. Bahwa adegan terseret semakin dalam dan bergejolak liar. Mungkin seperti pasang, naik tanpa kendali, mengisyaratkan badai sebelum para petualang laut sadar, saatnya menggulung layar. Tapi, siapa peduli ? Hingga fajar kembali mengetuk pintu, yang begitu terbuka, seperti hari-hari kemarin; Ada tawa menyambut uluran selembar lima puluh ribu dari domper coklat tua merk Gucci. (2002) Copyright (c) Teater
Puspanegara
2003 |