PUISI - PUISI
ALEX CANDRA WIDODO
Aku Akan Mengingat Lagi, Kenangan
Aku akan mengingat lagi kenangan, sesuatu yang telah ditinggalkan olehmu
sebagai suatu peristiwa lampau,
yang menjadi cerita
yang aku baca dikala aku tengah kesepian.
1997
Kenyataan
Aku baru saja memergoki setiap orang di dunia ini mengalami kematian yang
tragis.
Mulut yang menganga menuju gerbang cahaya
di mana cahaya begitu terang benderang dan menyilaukan.
Rasa di mana segenap rasa pedih merambat menjadi binasa,
mengalir dalam darah.
1997
Saat Terakhir
Aku berlari mengejar kereta.
Kepergianya begitu sempurna.
Menjalin rapi kesedihan dengan senja berangkat malam.
Cahaya lampu di plaza fisipol yang muram.
Gadis tersenyum getir mengigit bibir.
Tak bisa lagi berkata apa-apa.
Tapi laki-laki,
adalah aku punya banyak cerita,
yang tak pernah bisa disampaikan dengan lengkap.
Kesedihan bercerita lewat bahasanya sendiri.
Malam lindap, bumi tinggal gelap.
1998
Oh
Aku bersajak pagi ini,
seperti embun yang menggumpal pada pasir november
Juga kelopak-kelopak bunga dan ayam-ayam yang pagi hari bercengkerama
Sepagi ini,
Tuhan, mengapa aku konvensional?
1998
Anugrah
Cinta adalah sebuah anugrah.
Lalu bagaimana kita bisa memungkirinya.
Cinta itu datang secara tiba-tiba mengucur dari langit
seperti hujan yang akan mengenai setiap kepala orang
yang berusaha berteduh akan terkena uap dinginnya atau percikan airnya.
Kemudian jika cinta anugerah tinggal bagaimanakah seorang manusia mensikapinya.
Hanya ada dua pilihan akan anugerah cinta itu.
Menyimpannya atau mencurahkannya.
Jika ia simpan, seperti ia menyimpan bara dalam tungku dan sekam,
jiwanya akan terbakar
dan akan binasa bila tak mampu meredamnya.
Kemudian ketika cinta itu dicurahkan,
dan ditumpahkan pada sebuah kecintaanya,
maka akan terjalin energi saling melengkapi.
Tapi bagaimanakah sebuah cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Salah siapakah?
1998
Siapakah
Dengan kuas, lumuran cat yang tebal,
pada kanvas itu aku mencoba melukis wajahku sendiri.
Dimulai dari tepian wajahku yang oval.
Lalu kubentuk sepasang mata dengan lubang mata yang nyalang.
Garis-garis pada mulut kubiarkan tegak,
agar terlihat tegar tanpa senyum yang
biasanya kupakai untuk menutupi kesedihan. Lalu sepasang cuping hidung yang
lancip.
Wahai sepasang cuping hidung siapakah yang lancip selain cuping hidung
setan?
Tapi aku belum pernah melihat setan ataupun wewujudan lainnya.
Kemudian kubentuk sebuah hidung lengkap dengan dua liang telinga yang
kucetak hitam.
Aku memeriksanya dengan teliti.
Tapi wajah siapakah yang terpampang di sana?
Tanganku gemetar memegang kuas.
Kuasan terakhir hanya warna merah pada jidat yang membuatku semakin marah.
Aku memang tak bisa menggambar diriku sendiri.
Pengalaman seperti ini bukan yang pertama kali.
Aku pernah mencoba melukis Nancy,
tapi bahkan sepotong bibirnya pun tiba-tiba menjadi bukan bibir Nancy yang
tipis.
1999
Copyright (c) Teater Puspanegara
2003
|