teater puspanegara

Pencuri Kabut Istri

"Kang, terima kasih"
Hanya sepotong ucapan. Tapi rasanya itu lebih berarti ketimbang hadiah ulang tahun yang kuberikan tempo hari pada ultah perkawinan kami yang kelima. Anisku sayang, ia kini menangis sesenggukan. Aku menghela nafas.
"Sudahlah, apa kamu tidak malu sama tokek yang sedang pacaran itu?"
Ia memandang, masih menangis sambil sedikit mengulum senyum.
"Aaa, Akang jahat" satu cubitan menyentuh pipiku lembut.
Anis, ingatkah kau kisah Nabi Ibrahim dan Siti Sarah. Setelah lama menyimpan doa pada Gusti Allah, barulah seorang putra dianugerahkan pada mereka. Kita hanya sedang diuji. Beruntunglah, Gusti Allah masih memberikan kita kesabaran. Tidak sedikit ikhtiar yang telah kita lakukan. Kini tinggal doa yang harus sering kita panjatkan.
-------
"Sudah cukup rasanya ayah memendam keinginan untuk punya seorang cucu. Kamu satu-satunya penerus keturunan keluarga ini." Begitu dalam kata-kata yang dikeluarkan Ayah menancap di hati. Aku terdiam.
"Sudah berkali-kali masalah ini kami bicarakan ", timpal ibu," Kau harus kawin lagi".
Aku semakin tak mampu bersuara. Baru kali ini suasana rumah terasa begitu hambar. Dan menjadi alasan yang memaksaku untuk cepat-cepat pamit setelah makan siang dengan pikiran gerah.
"Tidak Dzuhuran dulu ?" Tanya ibu.
"Nanti saja".
Kukeluarkan motor GL Pro dari bagasi. Ibu mengantar sampai di halaman rumah.
"Salam buat Ayah Bu. Masalah ini akan Nanda pikirkan lagi".
Ibu tersenyum. Kucium lembut tangannya. Tangan dimana restunya selalu aku harapkan. Motor melaju. Lamat kudengar, ibu berteriak supaya hati-hati di jalan.
--------
Dua bulan berlalu. Sore itu, "Anis, dengar dulu. Aku terlambat pulang bukan karena apa. Kau ingat, minggu lalu kedudukanku naik. Dan ini konsekuensinya. Jadwalku semakin padat"
"Jadwal dipakai alasan. Bilang saja, sekretarisku tambah manis, dasar" kata Anis sewot.
"Sekretaris ? Apa-apaan kamu ? Kenapa sekertarisku itu dibawa-bawa ?"
"Jujur saja kang. Aku sudah tahu semua. Semalam ayah nelfon. Beliau minta ijin padaku."
"Masya Allah, jadi ?"
Ah, kenapa ayah mesti cerita pada Anis. Padahal, aku sendiri belum membicarakan hal ini dengannya. Ya, ada satu hal yang membuat aku selalu menunda-nunda. Rasa sayang yang amat sangat, hanya untuk Anis. Pikiranku bergerak, mengantar tangan menangkup menutupi pipi.
Akhir-akhir ini Anis seringkali senewen. Masalah kecil saja bisa membuatnya marah besar. Persis seperti kejadian sore ini.
"Anis, ayah cerita apa saja padamu" Kulunakkan suaraku.
"O, banyak kang. Terutama soal madu".
Ya Tuhan, ia sudah mulai menyenggol masalah madu. Sebenarnya Anis terlihat manis kalau sedang marah seperti itu, tapi untuk saat sekarang, rasanya letusan Merapi masih kalah dahsyat.
"Anis, maafkan aku. Seharusnya dari dulu kita bicarakan hal ini . Tapi setiap kali akan kumulai, selalu ada keraguan yang menyelinap"
"Tidak usah sok puitis. Langsung saja"
Aduuh, letusan pertama sudah mulai terasa.
"Kenapa diam ? bilang sana pada ayahmu. Oke yah, aku setuju. Tapi awas, jangan kembali padaku !" Gila, letusan kedua sudah mulai memuntahkan lahar panas. Aku tidak boleh gugup. Masalah ini harus selesai dengan baik. Aku tidak mau kehilangan Anis. Pakai taktik, pakai taktik, kau kan laki-laki, batinku menguatkan. Ahh !!
"Anis, sadarkah kamu pada sifat senewenmu akhir-akhir ini. Aku sendiri juga heran, Anisku manis sekarang jadi pemarah".
"Tidak usah merayu" Anis menyahut cepat.
Kuhela nafas dalam-dalam."Baiklah. Mungkin ini saat yang tepat"
Anis menatapku tajam. Duuh matanya, begitu indah.
"Ayo cepat, aku menunggu !"
Aku tersenyum, Anis cemberut.
"Terakhir aku mampir ke rumah ayah, beliau memintaku berpikir tentang seorang istri baru yang bisa memberinya seorang cucu. Ingat Anis, aku anak tunggal. Hhhh, waktu itu aku hanya diam. Dan kupikir, Masalahnya tidak bisa dibuat main-main. Secepatnya harus segera kubicarakan denganmu. Tapi, berhubung kamunya lebih sering senewen daripada tidaknya, kuputuskan menunda dulu, sampai, akhirnya kamu tahu sendiri dari ayah. Sungguh, aku sangat menyesali hal ini"
"Dasar, menyesal atau menyesal ?!! Aku tahu kamu suka dengan permintaan ayahmu itu. Memang salahku tidak dapat memberimu bayi"
"Bukan begitu Anis, ini sudah kehendak Tuhan. Kita yang harusnya semakin arif menghadapi cobaan". Anis tidak lagi membantah. Tapi ia punya bahasa lain, membuatku amat tersentuh. Air mata mulai membasahi pipinya yang halus. Segera kuraih tubuhnya dalam pelukanku.
"Jangan menangis Anis. Engkau satu-satunya gadisku. Tidak ada yang lain".
Lengang.
Dari arah pojok ruangan, terdengar suara tokek.
"Sudah, jangan manja ah, aku sekarang lapar. Kita makan dulu yuk", kataku kemudian. "Anis, kenapa kamu, Anis .." Aku terkejut setengah mati. Tiba-tiba tubuh Anis terasa lunglai. Segera tubuhnya kubaringkan di sofa. Kusentuh nadi di leher, Ya Allah, Anis pingsan. Tanpa pikir panjang, aku segera lari keluar rumah dan menuju rumah dokter Pratomo yang letaknya hanya di seberang jalan, dengan kepanikan.
"Mas Pratomo, tolong istri saya, ia pingsan !"
Tanpa banyak cakap, begitu tahu masalahnya, dokter muda itu segera mengambil tas kerja.. Bersama-sama kami lari kembali ke rumah. Dengan cekatan, ia segera memeriksa. Dikeluarkannya stetoskop dan alat pengukur tensi darah.
Lima menit telah berlalu. Anis masih pingsan. Aku begitu cemas.
Sebentar kemudian, dokter Pratomo telah menyelesaikan pemeriksaannya.
"Kamu tenang saja. Ia tidak apa-apa. Mungkin terlalu lelah"
"Apa sebenarnya yang telah terjadi ? Anis kenapa Mas ?"
"Tidak ada apa-apa. Bagi seorang wanita yang hamil, kejadian ini biasa terjadi kalau ia terlalu lelah atau terlalu terbebani oleh hal yang berat. Apalagi kalau hamil pertama"
"Istriku, hamil ??"
"Iya, makanya sekarang kamu harus lebih berhati-hati dalam menjaganya. Jangan buat ia marah lagi" Aku hanya terdiam. Benar-benar kejutan yang melegakan.
"Ini, kuberi kamu resep vitamin buat istrimu. Nanti ditebus di apotek. Sekarang aku pulang dulu ya" "Berapa saya harus bayar ?"
"Nggak perlu, sama teman sendiri, gratislah. Oke, aku pulang sekarang. Selamat jadi ayah" Dokter Pratomo melangkah pergi. Di ruangan ini hanya tinggal aku dan istriku.
Terus terang aku kaget sekaligus lega.
Tapi, Anis, hamil ? Lama aku hanya termangu. Terdengar suara tokek.
"Thok o thok o thok o thok tekkek ..." aku tersenyum.
"Tekkek ... bilang"
"Tekkek ... tidak"
"Tekkek ... bilang"
"Tekkek ... tidak"
Sunyi. Hanya aku dan istriku.
"Ayo sekali lagi. Ayo dong, ah. Sialan ..!"
"Kang," tiba-tiba terdengar suara Anis. Rupanya ia sudah siuman. Kubelai rambutnya mesra.
"Kalau aku masih belum dapat memberimu bayi bagaimana ?"
"Kenapa masih tanya ?"
"Anis", Seulas senyum di bibirku terkembang manis, "Kamu ingat lagunya Dewa 19 ?"
"Lagunya yang mana .. "
"Kamulah satu-satunya "
"Satu-satunya apa ?"
"Satu-satunya istri yang akan memberiku bayi".
Ekspresi Anis langsung berubah, mulutnya sedikit terbuka, seperti akan ada barisan kalimat menerobos keluar, hanya kalah cepat denganku yang tak membiarkan ia bertanya.
"Tadi waktu kau pingsan, aku panggil mas Pratomo. Setelah diperiksa, dia bilang kamu tidak apa-apa. Ini kejadian biasa untuk cewek yang sedaaaaang .... "
"Sedang apa ?" Desak Anis
"Ehemm, hamil"
"Apa kamu bilang ? Aku, ha ... !!"
Belum sempat Anis meneruskan kalimatnya, ia kembali jatuh di atas sofa. Masya Allah, piye iki. Ternyata ia pingsan kembali. Salahku sendiri, kenapa tadi tidak nurut bunyi ramalan tokek. Tapi, kali ini aku tidak panik.
Terima kasih Gusti Allah, atas karuniaMu pada kami. Semoga semua berakhir bahagia. Ayah, kau akan segera punya cucu. Dan aku, ho ho, kukecup lembut kening istriku.
Kini aku tahu kenapa akhir-akhir ini Anis begitu pemarah

(KG,Aug 00)




Terpasung Sunyi

Ruangan ini memiliki empat sisi dengan kemiringan berbeda. Sama juga dengan lantai dan langit-langitnya. Sebuah ruangan aneh yang tidak dimengerti sama sekali oleh Jatmiko, meski pun udaranya terasa nyaman. Ia duduk di atas kursi kurus. Ya, kurus karena seluruh rangkanya terbuat dari batangan besi yang dilas rapi artistik, juga karena tak ada secuil busa pun yang melekat. Benar-benar membuat pantat Jatmiko serasa berkurang beberapa senti.
Tak banyak pilihan bagi Jatmuko, ia terikat erat pada kursi. Berdiri, berjalan, berbaring, atau apa saja yang ia lakukan, kursi itu selalu setia menemani gerakannya. Barangkali ini siksaan, yang sangat terasa terutama ketika pertama kali ia menghuni ruangan itu, entah dengan status apa. Ia dijemput oleh beberapa orang yang dengan sangat terpaksa ia ikuti.
Maklum saja, sebilah belati menempel ketat di lehernya disertai ucapan tajam memerindingkan bulu kuduk, memerintah,"Jangan teriak atau mati !" Kejam dan dingin. Iih ! Apalagi revolver-revolver yang sengaja dipamerkan di balik jaket hitam mereka. Mana bisa Jatmiko bertingkah. Ia masih menyayangi nyawa yang hanya selembar. Juga istrinya, Raden Ajeng Asih, anaknya yang tiga orang, hartanya yang tersimpan aman di brankas, Bank Swiss, surat-surat piutang, saham kepemilikan pada hampir semua perusahaan multi nasional di negeri ini, hubungan manisnya dengan pejabat-pejabat strategis pemerintahan, dan terutama Alicia, si kucing liar yang ia temukan saat iseng menonton fashion show hasil rancangan Mr. Pierre di Paris.
Jatmiko masih ingat, "Who is she Pierre?" Tanyanya sambil mengamati lenggak-lenggok seksi seorang gadis berkulit mediteranian di atas catwalk. Dan ternyata, relasi yang baru dikenalnya beberapa hari lalu, Mr. Pierre, sangat tanggap terhadap pertanyaan semacam itu.
"Well," Katanya mengulum senyum,"This afternoon, you can find her in 26 Avenue. For my good friend, I'll do my best."
Mereka tertawa bersama dan terus bercanda sambil sesekali membicarakan peluang bisnis Mr. Pierre di negara asal Jatmiko, yang meski terkenal kere tapi gandrung terhadap merek-merek hot made in luar negeri.
Waktu fashion show selesai, Jatmiko yang sudah say goodbye, sempat mendengar gurauan,"Becarefull Miko, she is wild !" Malam itu, Jatmiko harus mengakui kebenaran gurauan relasinya. Alicia memang liar. Itu makanya Jatmiko harus bertahan, "Aku tidak akan kalah !" Sering ia berkata pada dirinya sendiri.
"Deng deng ...!"
Bunyi jam dinding tua berukuran besar yang tergantung pada salah satu sisi dinding, mengagetkan lamunan Jatmiko. Ia segera tersadar, lalu mulai menghitung.
"Ini dentang dua belas kali yang ke lima puluh. Kalau dibagi dua berarti dua puluh lima,"
Ia pegangi kepalanya yang mendadak seperti diganduli deretan angka ketidak pastian. Berat.
"Ya Tuhan, sudah dua puluh lima hari aku di sini. Kenapa mereka tak pernah mau menjelaskan padaku, kenapa ?"
Mereka yang dimaksud Jatmiko adalah orang-orang berseragam putih yang selalu datang tiga kali dalam tempo dua puluh empat jam dengan membawa dua butir pil beda warna. Satu saat kuning dan merah, sedang di saat lain hijau dan biru. Ada juga yang bertotol merah muda atau hitam.
Mulanya Jatmiko menyangka bahwa pil-pil itu merupakan racun yang dapat mengantarnya ke akherat. Tapi rasa lapar dan haus, membuat Jatmiko menelan mentah-mentah keraguannya sekaligus pil-pil itu sesuai anjuran pengantarnya.
Ajaib. Begitu dua butir pil yang ditelan menyentuh lambung, rasa lapar dan haus yang mendera tubuh Jatmiko lenyap, berganti dengan kesegaran. Berkat pil-pil itu pula, dua puluh lima hari menurut pikirannya, sekali pun Jatmiko tak pernah merasakan adanya keinginan untuk kencing atau berak. Memang aneh, tapi begitulah kenyataannya.
Jatmiko sendiri akhirnya menjadi terbiasa dengan tubuhnya, tapi tidak dengan pikiran yang menuntut jawaban logis atas keberadaannya di ruangan tersebut.
"Siapa kalian ? Mengapa aku ada di sini ? Tolong, jelaskan, jelaskan !" Teriak Jatmiko tiap kali pada para pengantar pil dengan pandang menghiba. Sayang, tak ada sedikitpun keterangan yang didapat Jatmiko, kecuali seulas senyum dan perkataan sama.
"Makanlah tuan, ini sungguh menyehatkan." dari sebuah lubang yang letaknya di langit-langit atas, sebelum pil-pil itu dijatuhkan ke lantai. Jawaban yang memaksa Jatmiko bosan untuk mengulangi pertanyaannya.
Satu jam setelah jam dinding berdentang dua belas kali, Jatmiko bangkit dari tempat dimana ia duduk menghabiskan waktu. Langkah bungkuknya tertuju pada sebuah lukisan diantara lima lukisan yang terpajang di dinding. Tubuh terangkat, berikut kursinya. Siksaan telah banyak berkurang, tak lagi seperti dulu, selalu keluar sumpah serapah dari mulut dan matanya yang meregang merah. Ruangan tempat ia hidup dan rasa penasaran yang belum juga terjawab telah merebut hampir seluruh perhatiannya. Ia lekatkan pandangannya lurus-lurus ke arah lukisan.
"Kenapa harus lukisan ini yang dipajang", Batinnya,"Kenapa bukan Basuki Abdullah, atau Affandi saja ?" Jatmiko hapal betul siapa pelukisnya.
Berkali-kali ia mengamati dan mencermati sambil sedikit-sedikit berusaha memahami pesan sang pelukis, Suripno.
"Bekasi Timur", Jatmiko membaca keterangan yang tertera di bawah lukisan. "Pantas saja."
Dua kali matanya berkedip dengan dahi agak mengkerut.
"Latar belakang sekumpulan orang yang, ya, jelas sedang bergotong royong membangun rumah kayu, adalah gedung-gedung pencakar langit."
Terus saja pandangannya tertuju pada lukisan realis semi kartun itu.
"Bapak berambut keriting menggendong anak, tak ikut kerja. Di sampingnya juga duduk seorang ibu menggendong anak, tak kerja."
Jatmiko terdiam beberapa saat. Pikirannya melayang pada rumah-rumah yang tergusur akibat proyek prestisius. Real estate, apartemen mewah, dan sekali-kali lapangan golf yang hampir bisa dipastikan; selama pembangunannya, ada saja aktifis lingkungan yang rela berteriak-teriak sambil menggelar poster kecaman bahwa lapangan golf merupakan salah satu penyumbang kerusakan lingkungan. Sungguh kongkalikong yang rapi. Sukses besar. Artinya dapur Jatmiko yang di sini atau di Paris, atau di mana saja akan tetap mengepul.
"Ah ya, warna kulit mereka berbeda. Jangan-jangan asal mereka juga berbeda," Jatmiko meneruskan gumamnya yang sempat terhenti akibat lamunan.
"Aku melihat keceriaan, persahabatan dan keikhlasan. Mereka tersenyum, tertawa-tawa lepas." Sesuatu hadir menohok benak Jatmiko. Ia tak pernah merasa kenal dengan keikhlasan. Tiap kerja yang ia jalani selalu bergumul dengan ambisi dan ambisi. Tiap keberhasilan selalu diukur dengan uang. Di dalamnya melekat prestise. Vini, Vidi, Vici; aku datang, aku lihat, dan aku menang; kalimat mashur dari Julius Caesar. Itulah keceriaan bagi Jatmiko.
Terdengar desahan dari mulut yang terkatup rapat. Ia tinggalkan lukisan Suripno dan beralih pada lukisan Ma'arif. Tampaknya Jatmiko telah melupakan serangkaian tulisan pada lukisan Suripno yang membuatnya selalu merasa tertohok saat membacanya; walau berbeda-beda, kita saudara. Mana bisa kaya dan miskin kita bedakan, pikirnya.
--------
"Tuan, makan siang anda,"
Suara yang demikian akrab menembus telinga Jatmiko. Dulu ketika orang-orang kekar itu belum menjemputnya, Jatmiko selalu mendengar ucapan yang sama keluar dari mulut manis para pelayan resto mewah dengan pakaian putih halus terbungkus dasi kupu-kupu di leher.
Mereka datang membawa hidangan dengan aroma menggetarkan syaraf perasa, pembangkit selera. Sekilas Jatmiko melirik,
"Lemparkan saja seperti biasanya."
Tiga butir pil melayang dibelakang Jatmiko. Lubang di atas kepala setinggi kira-kira 5 meter tertutup perlahan. Jatmiko meneruskan kesia-siaan, untuk menguatkan tekadnya. Ia tidak akan gila. Tapi, segala sesuatu memang berbatas
"Yang gagah perkasa, biasa bawa senjata,"
Membaca kembali tulisan pada lukisan kelima, Jatmiko terbawa pada kenangan lalu.
"Jangan mau diperdaya oleh yang kaya/berkuasa."
"Tak boleh semena-mena pada yang tidak berdaya."
Cih cih prek ! Gemetar dada Jatmiko memandang lukisan sepasang sepatu lars khas tentara, sepasang fantopel, dan sepasang sandal japit tua karya Lantip Budiarto Jakarta.
Diluar kendali, maka keluarlah kemarahan itu, Kemarahan yang lama tertahan akibat pengaruh pil yang tak pernah disadari oleh Jatmiko. Kata-kata berhamburan begitu saja.
"Hei, kalian yang diatas sana, lekas keluarkan aku dari sini. Kalian ingin uang berapa hah ?! Ambil semua sahamku, depositoku, ambil semua, ambil !! Tapi biarkan aku keluar dari sini, aku rindu rumah, aku rindu Asih, aku rindu Alicia, anak-anakku. Aku rindu jabatan, kekuasaanku, aku rindu dunia luar. Bajingan kalian !"
Tubuh Jatmiko bergerak kesana kemari, membentur dinding, mengobrak lukisan hingga berjatuhan, berguling sekenanya tanpa peduli tubuhnya didera rasa nyeri, mengamuk sambil terus meneriakkan makian-makian sekaligus permohonan. Memilukan. Hanya karena asap tipis yang asalnya dari empat sudut ruangan, perlahan syaraf kemarahan Jatmiko terhenti. Matanya meredup. Ia pingsan. Dua jam kemudian, mata Jatmiko kembali terbuka. Keadaan ruangan telah kembali tanpa perubahan berarti. Ruangan aneh, lima lukisan bertema senada, satu jam dinding besar, dan dirinya sendiri, duduk di atas kursi kurus, terikat.
"Biarkan aku mengetahui semua. Atau kalau tidak, lepaskan saja nyawa dari tubuhku."
Lemah suara Jatmiko, nyaris tak terdengar. Untuk pertama kali semenjak ruangan ini menjadi rumahnya, Jatmiko menangis.
Terdengar dentang jam, keras, menusuk-nusuk. Seperti memberitahukan, bahwa Jatmiko masih akan mendengar dan tinggal untuk waktu yang lama. Waktu yang tak pernah pasti baginya untuk memperoleh jawaban.
----------
"Ma, yang ini lucu?"
Seorang gadis kecil dengan rambut dikepang menunjuk-nunjuk ke dalam kerangkeng kaca. "Alain baca ya tulisannya." Si ibu tersenyum menyaksikan polah putrinya.
Hari ini adalah hari peringatan HAM di negeri toleransi dan kedamaian, dan ia menyempatkan disela kesibukan harian sebagai secretary general of humanity research organisation, mengajak Alain menyaksikan pameran langka. Ia ingin putrinya belajar.
"Lelaki pemarah dari negeri yang punya hobi saling memarahi. Umur saat ini 356 tahun. Pelanggar Hak Asasi dengan spesialisasi kolusi dan pemaksaan kehendak dengan alasan ekonomi. Punya hubungan dekat dengan militer dan birokrasi serta pandai memanfaatkan situasi demi keuntungan pribadi. Keahlian lain adalah pakar manajemen konflik tingkat makro sekaligus piawai membangun jaringan konglomerasi dan monopoli."
Dahi Alain mengkerut. Pandangannya beralih, "Ma, kok panjang sekali uraiannya. Apa benar sih ma kalau orang ini hidup untuk melukai?"
"Alain, bukankah Alain sudah membacanya."
"Tapi ma, kata Bu Guru, bukankah kita sama. Berarti, jahat sekali orang itu ya ma ?"
"Alain mau seperti orang itu ?"
Tangan mama menunjuk kedalam kerangkeng kaca, tepat saat sosok itu bangkit berjalan berputar-putar.
"Ihh.. ," Tangan kecil Alain bergerak lincah, tanda menolak.
"Sudah, ayo kita kesana. Masih banyak yang harus dilihat dan dipelajari Alain."
"Mama, Agusto Pinochet ada ?"
"Ada."
"Nicolae Ceausescu ?"
"Ada."
"Benito Mussolini ?"
"Aduuh Alain, semua yang dari abad 20 ada sayang. Adolf Hitler, Idi Amin Dada, Jean Claude Duvalian, Lenin, Vladimir Putin. Pokoknya banyak sayang. Semuanya memiliki replika. Ayo kita lihat semua. Biar kita bisa belajar dari mereka, bagaimana sayang?"
"Oke mama sayang, tapi eh..,"
"Apa lagi Alain ?"
"Ada yang belum terbaca ma."
Alain bergerak, kembali tubuhnya menghadap ke arah kerangkeng kaca. Bibir mungilnya mengeja, "J a t m i k o."

Hugeng Satya Dharma, 2001




Laut

Mencari laut di kedalaman Senin, ditengah belantara bisu.
Sendiri dan terbuang. Mulut tak mau bergerak. Kesunyian yang mencengkeram, meguasai keadaan. Aku menjadi lemah secara fisik. Terpuruk lesu. Dan merasa hanya mampu menggerakkan otak sebagai satu-satunya senjata andalan jika ada yang mempertanyakan kesunyian; keadaanku. Pencarianku. Sulukku.
Aku dilahirkan oleh seorang ibu, dua puluh satu tahun lalu. Tapi pasti bukan untuk menjadi seperti ini. Setidaknya ibu menginginkanku menjadi diriku sendiri (Beliau bilang, aku bukanlah aku sesungguhnya), tidak sampai terlibat ajaran yang mengantarku berpikir dalam dan menjadi berbeda. Hidup normal seperti orang kebanyakan. Sekolah, lulus, cari kerja. Kalau sudah mapan, kawin dengan perempuan. Boleh pilih sendiri atau biar ibu yang susah payah mencari.
Apa lacut. Selepas bangku SMU lewat, aku terlibat dalam satu organisasi yang belakangan kukenal sebagai pembawa ajaran. Setahap demi setahap aku berjalan mengikuti hingga, walau sadar aku berjalan, tanpa terasa dua tahun lewat. Aku terlena dan terdampar dalam usaha pencarian. Dalam, lama, kadang menyiksa. Inilah pilihanku sebagai manusia. Inilah jalanku, berbau sunyi. Aku tak menyesal.Sayang, ibu meronta, menuntut dalam tiap kata yang beliau lontarkan. Sebagai ibu, sang penanggung jawab anak yang keluar dari rahimnya. Sedang diriku, lebih memilih diam mempertahankan. Aku tak ingin kehilangan, walau secuil, dari proses pencarian. Aku ingin sampai ke ujung. Sampai ke tanda titik, apa pun halangannya

Senin, usiaku 25 tahun. Retorika nasib memutus; Berubah !!
Aku berubah pikiran. Pencarian tak selalu mengaduk-aduk kesunyian. Ada banyak ruang yang bisa menjadi medan jelajah. Sesuatu yang lain. Jika hampir enam tahun aku mengurung diri, enggan menghisap matahari, hari itu aku berdialog dengan semesta jiwa dan mencapai kata sepakat. Semuanya aku utarakan pada ibu. Beliau tersenyum, mengelus kepalaku, lalu menciumnya tulus.
"Seharusnya kau berubah sejak dulu. Ibu merasa kau bukan lagi anak yang ibu kenal. Tapi sudahlah. Sekarang ibu bisa menarik nafas lega. Keluarlah dari pengasinganmu, anakku."
Lama aku tak melihat senyum di wajah ibu. Selama prosesku berjalan, rasanya lebih banyak badai terlihat di sana. Aku memang kejam. Ah, bukan aku. Tapi suluk ini, perjalanan ini. (Semoga tak sia-sia).
Aku yakin bahwa segala sesuatu memang harus begitu. Manusia bukan hanya manusia. Hak hidup sama besarnya dengan hak untuk mencari, sampai kapan pun. Bahkan hingga perbatasan antara hidup dan maut.
"Ibu akan berdoa untukmu. Ibu yakin kau akan berbeda. Jangan lagi susahkan ibumu. Sudah seperempat abad ibu membesarkanmu. Jadilah kepala rumah ini. Buatlah ibu bangga." Aku tersenyum, menyadari bahwa ibu belum juga mengerti bahwa sulukku masih akan berlanjut, tanpa jeda dan hitungan waktu. Atau, mungkin aku salah terka. Perasaan ibu terlalu peka untuk kuremehkan. Biarlah.
Kini aku benar-benar berubah. Setiap tawaran untuk menjadi apa pun aku terima. Keluar rumah dan menjadi ramah. Persis seperti penjelasan guru sosiologi dulu masa SMU. Manusia adalah makhluq sosial. Hidup bukan hanya diri sendiri, tapi berbagi. Awalnya mereka kaget, tak menyangka bahwa aku adalah seorang pemuda tanggung yang mereka kenal enam tahun lampau. Tapi semua menjadi biasa setelah hitungan-hitungan minggu melewati masanya. Mereka kembali mengenaliku sebagai tetangga. Aku juga mencari pekerjaan dengan tanganku dan memutar modal yang diberi ibu sebagai penunjang. Kadang berputar di pasar. Lain waktu mengambil barang dan menyetorkannya ke Supermarket.
Atau kalau nekad, pernah juga menjadi agen perusahaan asuransi jiwa, meski hanya bertahan satu setengah bulan. Semua tawaran benar-benar aku sambut dengan tangan terbuka. Tak ada penolakan. Ajaib, hanya dalam tempo dua tahun, terjadi perubahan finansial besar-besaran dalam kehidupanku dan ibu. Jangan berani katakan kami orang susah.
Semakin hari namaku semakin dikenal. Bukan hanya sebagai wiraswastawan yang berhasil, tapi juga merembet menjadi tokoh pemuda yang mampu menggerakkan massa jika memang diperlukan. Dengan keahlianku untuk mengambil hati, semuanya mudah saja.
Bola terus bergulir. Tahun-tahun berikutnya, bukan aku yang harus susah payah. Tapi mereka yang datang sebagai pihak yang membutuhkan. Entah sekadar ngobrol, wawancara, minta sumbangan (yang selalu aku sambut dengan selembar uang plastik, seratus ribu), atau urusan lain menyangkut bisnis dan sosial.
"Anakku," Suatu siang ibu berkata padaku di ruang tengah selepas makan, "Mungkin kegembiraan yang ibu rasakan hanya bisa teraba olehmu. Engkau sudah menjadi orang besar nak."
Aku benar-benar berubah, tepat seperti kehendak ibu. Tapi nanti dulu. Aku tak seputih seperti sangka ibu. Aku tak merasa kehilangan pencarianku. Sulukku terus melompat dari satu celah, menuju celah lain. Dari yang dangkal menyelam semakin dalam. Menyeret tubuh dan jiwa untuk mengenali tiap kemungkinan, baik yang sengaja kuciptakan atau yang datang tanpa bisa diduga. Raga berpindah, aktifitas mendesak saling berganti.
 Hari tak mengenal tanda merah. Membelit kencang, menyesakkan nafas pencarian dengan pertanyaan menghujam; Sudahkah kau temukan ? Tidak. Belum kutemukan

Senin, meledak dalam hitungan ganjil. Aku 40 tahun
"Anakku. Bolehkah ibu meminta sesuatu darimu nak ?"
"Katakan bunda."
"Ibu inginkan darimu, seorang menantu."
"Bunda," Aku tercekat.
"Jangan biarkan dirimu dicekam usia tua tanpa pendamping."
Melihat wajah ibu membadai, aku tak kuasa. Ah, ibu. Lima tahun yang lalu, kupenuhi keinginan ibu. Ibu mendapatkan besan seorang tokoh politik yang kesohor. Entah garis apa yang mendorongku mengajukan lamaran tanpa perlu mengenal lebih jauh calon menantu ibu. Takdir barangkali. Aku datang, aku melamar, sedikit basa-basi, lamaranku diterima. Sebulan kemudian, aku mendapatkan mertua yang selalu membanggakan aku sebagai menantu terbaik mereka diantara deretan menantu yang lain. Tapi, seperti adatnya, aku menyimpan kesunyian, dan bersandiwara untuk menutupi pencarianku, sulukku.
Peristiwa ini membuka jalan bagiku untuk melangkah lebih luas lagi. Dengan mertua seorang tokoh politik kesohor, dibawanya aku dalam lobi-lobi besar yang menyangkut berbagai masalah rumit. Ia menginginkan aku belajar. Dan aku belajar, sekaligus mencari. Aku temukan medan jelajah baru. Mengasyikkan sekali terlibat dalam berbagai macam intrik politikus.
Saat berdialog dengan semesta jiwa seperti biasanya, aku menyimpulkan; Mungkin yang kucari ada disini. Dengan mengikuti arus sebagai politikus. Mertuaku tersenyum, menyadari bahwa aku, sangkanya, telah berhasil mewarisi kehendaknya dengan sempurna. Semua program partai menjadi tanggung-jawabku. Entah cara apa yang kupakai, program mesti berjalan dan meninggalkan hasil akhir : sukses.
Lancar dan lancar. Karier menanjak. Itulah yang kuhadapi sebagai kulit semu dari pencarianku. Menyakitkan memang, jika memainkan kepura-puraan yang dimata orang lain menjadi kebanggaan. Tapi langkahku takkan surut. Aku akan terus mencari sampai dapat.
Dan suatu malam, saat usiaku sampai pada hitungan 49, aku bermimpi. Seorang lelaki datang, menyiratkan kebijaksanaan, ia pandang lekat mataku. Kami berdialog dengan bahasa semesta, sampai akhirnya ia bersuara lembut.
"Wahai, sudahkah kau temukan apa yang kau cari ?"
"Belumkah cukup perjalananku ya bapak ?" Sambutku balik bertanya.
Kami diam, terbalut pertanyaan masing-masing yang melingkar memenuhi ruang rasa dan jiwa. Otakku menggapai, mencoba menterjemahkan situasi aneh yang mendadak berubah-ubah dari satu detik menuju detik berikutnya. Satu perasaan yang rasanya sudah lama aku rindukan sebagai seorang pencari. Mulutku mengembang senyum. Adakah seorang sahabat telah membantu menemukan penggalan senyum setelah bertahun-tahun lewat ?
Ia berkata lagi, "Wahai, ikutlah denganku."
Tanpa bisa menolak, tanganku dipegang, kemudian melesat menjumpai sahara berbatu. Kering dan tandus. Wajahku memucat, dada bergetaran menahan gebalau ketidakmengertian. Ia mengulurkan tangannya, meraih pasir berkerikil, memasukkannya dalam kantong yang tiba-tiba saja berada ditangannya.
 "Bawa ini," Perintahnya padaku.
Kembali kami melesat, kali ini keatas menembus gelap, melewati terang, dan akhirnya singgah diatas gumpalan awan setelah bergerak lama.
Ia lepaskan tanganku, "Duduklah," Pintanya tenang. Aliran nafasku mengisyaratkan kelegaan. Baru kali ini aku mengetahui, kalau ternyata awan itu lembut dan bisa diduduki. Mungkin perkataan putriku tentang awan salah. Ia bercerita, bahwa awan adalah kumpulan asap yang mengandung uap air. Di waktu yang ditentukan, barulah akan berubah menjadi hujan. Ah, putriku, mungkin kau salah. Nyaman sekali duduk di atas awan.
Kali ini aku tak lagi gemetar. Lelaki itu melangkah setapak setapak, berjalan lambat mengitari gumpalan awan yang menjadi tempat kami berada. Sejauh mata memandang, hanya gumpalan-gumpalan awan yang berserak dengan macam-macam bentuk yang tampak. Keindahan ini, ah, kenapa ia begitu lama membiarkan suasana tanpa dialog.
Aku mulai tak sabar. Saat otakku memerintahkan mulut untuk bertanya, lelaki yang kupanggil bapak itu melambaikan tangan menahan. Kuurungkan niatku, mencoba memperhatikan apa lagi yang akan ia lakukan.
"Masukkan ini ke dalam kantung," Perintahnya. Di tangkup kedua telapak tangannya terdapat segumpal kecil awan. Aku menurut.
Apa yang terjadi selanjutnya, aku dibawa singgah ke tempat-tempat yang mungkin tak pernah kubayangkan. Kami menyelam dalam ke dasar bumi, menemukan sungai bawah tanah, mengambil airnya. Lalu kembali ke atas dan menukik menuju jalur magma sebuah gunung api diiringi teriakan keras dari mulutku. Tapi ia hanya berkata,"Tenanglah. Kau takkan apa-apa." Mataku memandang nanar. Kelu menyumpal mulutku. Ia masukkan juga lahar menyala itu ke dalam kantong.
"Bukankah kau sedang mencari, anakku ?"
Kami terus saja melesat menyinggahi hujan, merasakan kesejukan embun, menyesap cahaya matahari yang hangat. Dan sesuatu yang akrab tiba-tiba terhampar dihadapan kami. Keramaian manusia.
"Wahai, kita akan ke sana anakku."
Ratusan kilo jalan aspal, ribuan kendaraan, bangunan-bangunan bertingkat, gubuk-gubuk reot pinggir sungai, kenapa juga diambil sedikit olehnya ? Kami masuki aliran darah tiap orang, tiap tokoh, tiap pelacur, gigolo, menteri, ketua partai, kyai, pelajar, mahasiswa, dosen, rektor, hakim, pengacara, bankir, konsultan, pengemis, orang-orang pasar, bahkan kuli bangunan tidak luput dari pengamatannya. Juga tiap anak kecil, bayi, janin sampai dua orang yang bergumul meregang nikmat, kami hampiri. Selalu ada yang ia ambil untuk dimasukkan kedalam kantong yang ada dalam genggamanku. Aku tak lagi bertanya.
Ia terus membawaku mengumpulkan berbagai macam ambisi, keinginan-keinginan serta tabiat menusia. Melanglang, melesat cepat.
Mataku terbuka. Aku terbangun dari mimpi aneh. Apakah pertanda ? Pikiranku sibuk menerka, adakah sesuatu telah kutemukan lewat mimpi ini ? Sosok yang ada disampingku menggeliat. Pandanganku beralih.
 Ia membuka mata, menyirat pertanyaan,"Ada apa ?" Mulutnya terbuka membahasakan pikiran.
Aku bermimpi aneh."
Ia seorang pendengar yang baik. Tiap kata-kataku diperhatikannya dengan seksama, hingga saat cerita yang kuperdengarkan mencapai ujung, ia mendekapku hangat,
"Jangan terlalu dipikirkan. Anggap saja kembang tidur."
Betapa beruntungnya aku mendapatkan pasangan yang demikian pengertian.
Kami saling memagut, dan bersatu hingga fajar menyadarkan kami.
Hari baru telah terbuka. Hanya, malam selanjutnya mimpi itu terulang dan terus terulang kembali sampai hitungan malam ke tujuh. Aku harus mencari. Tidak hanya sebagai politikus, atau pun pengusaha, atau putra ibu, atau menantu mertua. Mencari !!

Senin, titik terujung cakrawala. Redup.
Mentari dengan cahaya sorenya menerobos jiwaku. Dengan tubuh duduk di halaman belakang rumah (sebagian orang menyebutnya istana), aku menikmati kenyamanan suasana, membiarkan pikiranku menerawang jauh melebihi pandangan mata. Jika dugaanku tidak salah, telah tiba saatnya aku menerima kehendak. Sama ketika dulu perjalananku mencapai tangga usia 25 tahun.
Usiaku saat ini sudah menginjak angka 60. Baru kemarin, betapa meriahnya perayaan ulang tahunku membayang. Semua orang hadir mengucap selamat. Tak urung, ibu memberiku restunya, memanjat doa agar aku senantiasa dikaruniani panjang usia dan selamat sejahtera. Orang yang paling mengasihiku pun menghadiahi ciuman mesra. Ah, dadaku menyimpan gemuruh. Betapa pencarianku, sulukku, panjang beraneka warna.
Semalam, lelaki itu hadir kembali dalam mimpi. Ia menanyakan kantung yang ia gunakan untuk membungkus, sebelas tahun lampau. Kudapati kantung itu terikat di dada kiri, berdenyut seirama detak jantung.
"Wahai, kuijinkan kau untuk membukanya anakku."
Kantung itu berdetak semakin cepat, terpompa jantung. Perlahan tanganku meraih. Ikatan terlepas, mataku melirik, mengamati pergerakan tangan yang membuka kantung.
Ada cahaya keluar dari dalam, menembus masuk melalui pupil mata. Kupejamkan. Bagian syaraf otakku segera memerintah, bukalah matamu, sebab tangan mulai merasakan panas yang memijar dari kantung. Penuh rasa penasaran, aku terbeliak. Bara itu menyala-nyala memenuhi kantung dengan cahaya kemerahan, mengalir panas yang menjalar cepat. Semakin panas. Aku berteriak keras. " Ahhh.. !" Aku tak bisa melupakan.
Semalam, bara itu, merah, menyala, panas. Sore ini, sudah waktunya aku menghadapi bagian terpenting dari pencarianku, sulukku. Menemukan apa yang kucari. Maafkan wahai kalian, bagian dari kehidupannku. Jangan kalian merasa kehilangan.
Segera aku mengambil posisi paling nyaman, mata terpejam, mengatur aliran darah dan nafas.

(aku mainkan sulur-sulur pikiran,
mendedah minta bara
padahal lelah belum habis menyingkirkan anekdot
hidup kubawa dalam petualangan;
berbau imajiner sekerjap singgah di awan,
sekerjap lain menembus bumi
berkubang menghirup magma mendidih tak juga berhenti,
maka kuiring berbaur jutaan manusia
pembaca berita menangkap tiap peristiwa,
jangan sepotong seluruhnya seluruhnya
 seutuhnya tercecap otak terekam sebagai kesan,
tak boleh hilang berlepot debu jalan
memilah memilah memilih hitam di atas putih
seperti cahaya atau suram melingkar
atau lukisan akhir abad antara kehendak untuk lari,
 kesiur langkah membersit membau asap,
kuat tercium sebagai tanda menyebar menjarah sisi batin ;
 dahaga bagai tangan menadah
disambut hujan menuju kekedalaman
terus menjelajah setumpuk bara teronggok dibelit sulur
Aku meregang menahan senja senja gulita)

Keesokan paginya, ibuku menangis tanda berduka. Dia yang paling menyayangiku jatuh pingsan berkali-kali. Orang-orang berdatangan, mengucap bela sungkawa. Tak terhitung berapa ucapan dan karangan bunga yang bertumpuk di halaman depan rumah. Semua merasa kehilangan.
Maafkan kehidupanku, perjalanan harus aku lewati. Sulukku telah menandakan titik.
Aku bahagia sekarang, barada disamping apa yang kucari selama ini. Lautku.

14 november 2001 (Hugeng Satya Dharma) -



Beika

Sejenak aku dan Beika saling berpandangan. Dan Beikalah yang memulai ekspresi tawa untuk memecah keheningan yang tejadi sesaat, begitu kami saling menyadari bahwa percakapan kami, atau katakanlah persahabatan kami menjadi sesuatu yang lucu. Aku tercenung, perbendaharaan kata seolah habis terhisap suasana.
Yang bisa kulakukan kemudian hanyalah memetik bunga rumput di hadapanku dan menggigitnya sebagai mainan sambil menikmati derai tawa Beika yang masih terus berlanjut. Mungkin dengan cara ini aku akan memperoleh ide untuk memecah kebuntuan pikiran. Tapi ternyata Beika telah mendahului. "Lang, aku suka caramu memainkan bunga itu."
 Ah, Beika. Aku tahu kalau kau juga kehabisan kata. Kebenaran yang kita temukan baru saja telah membuka mata. Dan pertanyaan selanjutnya, bisakah kita melakukan presentasi sebaik biasanya ? Seperti dihadapan klien-klien perusahaanku atau perusahaanmu sendiri ? Entahlah Beika, sebab jika kita lakukan, presentasi kali ini akan lain. Sesuatu yang beda tapi manusiawi. Yang kita mainkan adalah kebohongan yang mungkin dibolehkan Dewa Cupid dalam mitologi Yunani, atau paling tidak dibolehkan atas nama kemanusiaan.
Tapi entahlah. Aku takut berdosa.
----------
Genap dua tahun aku mengenal Beika. Ia seorang yang menyenangkan. Kami sering membuat janji ketemu jika waktu luang mengijinkan, seperti sore ini, di bukit atas kawasan parangtritis. Aku mengenalnya secara tak sengaja. Beika bilang, ini adalah keberuntungan. Kesibukanku sebagai manajer top produser di perusahaan event organiser telah menjadikanku memiliki banyak aktifitas yang bersentuhan dengan relasi dari berbagai kalangan.
Suatu ketika, saat Mr Big, sebutan bagi bosku yang tambun, memberi tugas agar memenuhi janji kencannya dengan seorang direktur yang menginginkan perusahaan kami merancang acara pesta pernikahan putrinya, aku menemukan seorang wanita duduk sendiri di kursi ujung dekat kaca restoran waralaba fried chicken. Di sinilah Mr Big membuat janji. Sekretarisnya bilang bahwa aku harus menemui seorang gadis bernama Beika, sebab sang Direktur kebetulan juga tidak dapat memenuhi janji tersebut karena ada kepentingan mendadak.
"Jangan lupa, ia pakai blazer biru. Janjiannya di resto waralaba KFC pusat kota jam 13.00 hari ini juga. Awas kalau sampai telat. Uang muka sudah dibayar. Sepertinya order besar."
"Oke non. Tapi omong-omong, cakep nggak orangnya ?"
"Alaah kamu, nanti kuberitahukan sama ibu lho." Sang sekretaris Mr Big, Irna, tertawa menggoda.
"Ah, bisnis. Ini kan hitungannya bisnis. Jangan kaitkan dengan Nyonya Lang di rumah dong," Aku menyanggah dengan taktis.
"Lho, mas Lang, yang namanya laki-laki, ya tetap laki-laki. Kalau berhubungan dengan wanita, ia sangat pantas untuk dicurigai."
"Biarin, yang penting cakep nggak ?"
"Buktikan saja sendiri." Elak Irma dengan muka cemberut sambil membereskan kertas kerja dan mulai menyalin dokumen-dokumen tersebut ke dalam komputer.
Siangnya, aku sudah berada di resto, meski terlambat lima menit dari perjanjian semula. Ah, itu dia si wanita berblazer biru, duduk menghadap ruas jalan yang terlihat ramai.
"Maaf, anda nona Beika ?" Tanyaku begitu sampai di hadapannya.
"Mr Big ?"
"Bukan, saya manajer perusahaan. Mohon maaf, saat ini dia sedang ada keperluan mendesak. Jadi saya yang bertugas mewakilinya. Oh ya, benar anda nona Beika ?"
Ia menganggukkan kepalanya, seperti berpikir, tersenyum kecil lalu menyahut ringan, "Hanya Beika, tidak perlu pakai nona."
'Baiklah. Demi efisiensi, kita akan memulai pembicaraan kita seputar pernikahan. Tapi sebelumnya, anda suka crispi atau..," Belum sempat aku menyelasaikan kalimatku, ia menyahut cepat, "Apa yang kamu pesan, aku juga sama."
Kesan pertama yang aku peroleh tentang Beika, bahwa ia adalah seorang yang ramah dan menarik dalam segala hal. Cara bicaranya, juga cara memandangnya. Kesan alami tanpa dibuat-buat.
Segera aku beranjak dan memesan. Ia sempat menanyakan namaku sebelum aku berjalan tiga langkah dari meja.
"Panggil saja Lang."
Sahutku berhenti sejenak sambil melempar senyum Selanjutnya, kami bicara banyak, bahkan melebihi jatah waktu saat nego masalah pernikahan selesai. Pembicaraan yang hangat.
"Kau tak kembali ke kantor ?"
"Waktu istirahatku bisa diperpanjang sesuai kebutuhan. Toh pertemuan ini atas perintah bosku. Jadi, tidak masalah."
"Berapa anakmu ?"
"Kau pintar menebak ya."
Senyum Beika mengembang manis," Baru dua, kau ?" Lanjutnya.
"Dua ? Kalau begitu, bersiaplah menerima kekalahan. Istriku sedang nyidam untuk menyambut putra ketiga."
Aku ketawa ngakak begitu melihat ekspresi Beika menampakkan perubahan lucu menggemaskan. Ia lantas mengalihkan perhatiannya dengan melirik jam tangan mungil merk charmant yang melekat manis di tangannya.
"Hei, sudah setengah empat. Kita lupa waktu rupanya."
Aku diam sejenak, Sempat terpikir untuk mengatakan sesuatu ketika mengambil dompet, tapi mendadak lupa sebab Beika melakukan hal yang sama denganku.
"Hai, kartu nama. Ide yang sangat baik."
"Mau tukar ?" Kataku.
"Siapa yang menolak ?"
Kami sama-sama mengangsurkan tangan. Kartu pun berpindah.
Beika mengamati kartu namaku dengan seksama. Aku sadar suasana, sekedar basa-basi.
"Baiklah, ternyata waktu juga yang berhasil membuat pertemuan ini harus berakhir."
Diluar dugaanku, ia menyahut santai, "Setidaknya, tempat kita tidak terlalu jauh. Aku masih bisa menghubungimu. Kurasa kau pun juga bisa, dengan catatan istrimu tidak terlalu cemburu dengan perkenalan kita."
Aku tertawa lunak.
"Oke sahabat, apa yang kau pegang dari pertemuan kita sore ini ?"
"Bahwa namamu Lang."
"Dan namamu, Beika."
----------
Sesuatu yang tak terduga terjadi. Istriku benar-benar meledak. Ia marah dengan ekspresi khas seorang wanita yang dilabrak kecemburuan yang memang pantas jika dialamatkan padaku. Ia mendengar kabar, dan berhasil membuktikan dengan kedua matanya sendiri. Aku tak pernah cerita padanya perihal Beika. Beika adalah rahasia yang istriku sendiri tak boleh tahu, demi menjaga perasaanya sebagai wanita.
"Kalau aku memiliki kekurangan, bilang saja terus terang. Jangan anggap aku tidak ada Lang. Toh kita bisa membicarakannya baik-baik. Aku ini nyonya Lang, istrimu !!"
"Sungguh, aku berani sumpah. Ia bukan apa-apaku. Hanya sahabat, tidak lebih."
"Sahabat ? Dengar Lang, aku tidak pernah percaya dengan kabar selentingan. Biar kuberi tahu. Irna pernah cerita tentang seorang wanita bernama Beika. Mas Jon partnermu juga pernah melihatmu dengan wanita itu di kaliurang. Dan mbak Aida, tetangga kita juga mengadu padaku bahwa ia pernah melihatmu secara tak sengaja di Galeria, bercanda dengan wanita yang kulihat siang tadi. Tapi aku, Nyonya Lang, selama ini sedikit pun tidak pernah menggubris karena aku tahu bahwa Lang suamiku, adalah laki-laki yang bisa dipegang kesetiaannya !"
"Nis, ia hanya sahabatku. Berapa kali aku harus bilang padamu. Sahabat Nis, hanya sahabat. Dan kau tetap istriku tersayang."
Anis semakin merah. Ia yang selama ini terlihat tenang, ternyata menyimpan energi tak terduga untuk memuntahkan kemarahan melebihi para demonstran yang sering kutemui di jalan-jalan protokol.
Aku tak menduga ketika siang tadi Anis memergokiku sedang ngobrol dengan Beika di restoran lantai teratas Malioboro Mall sambil menikmati es krim. Sekilas aku melihatnya berada di tengah eskalator lantai dua dengan tatapan lurus ke atas tepat ditujukan padaku. Ia mengamati, begitu pun aku, dan kaget setelah menyadari bahwa suaminya berada di atas bersama wanita yang belum ia kenal. Buru-buru ia kembali tanpa memperdulikan barisan manusia dibelakangnya dan arah eskalator. Aku berusaha mengejar, hanya kalah cepat. Begitu aku kembali ke tempat duduk, Beika menanti penjelasan.
"Siapa yang kau kejar ?"
"Istriku, Anis," Jawabku lemas.
Beika rupanya mengerti, dan ia membiarkan pikiranku mengembara membayangkan perang dunia yang sebentar lagi pecah, mengalahkan kedahsyatan Osama vs Amerika. Bayanganku tidak salah.
Sore hari, aku menemukan istriku dengan wajah kusam. Ia membuka pintu dan langsung kembali ke dapur menyibukkan diri dengan berbagai masakan. Sampai jam sepuluh malam, keadaanya tidak berubah. Aku sudah mencoba untuk mengajak bicara, tapi tampaknya ia memiliki senjata yang membuatku kalah telak. Diam, sebuah bahasa yang sangat efektif untuk menunjukkan api perlawanan yang menyekam. Baru ketika kami masuk kamar, anak-anak sudah tidur, ia mau mengeluarkan kata-kata yang pasti dipendamnya semenjak siang tadi. Aku benar-benar kalah.
"Jangan katakan aku selingkuh Nis. Sekali pun aku tak pernah menyentuh tubuhnya walau seujung rambut. Jangan mudah membuat tuduhan. Aku laki-laki beristri, dan aku tahu bagaimana cara menjaga diri sebagai laki-laki beristri."
"Kau memang pandai membuat alasan."
"Harus, kalau memang tuduhan itu tidak pada tempatnya."
"Kau mengatakan tidak pada tempatnya ?! Sekarang ceritakan padaku Lang, ceritakan, berapa kali kalian bikin janji ketemu ?!"
"Kami..," Mulutku mendadak kehilangan suara untuk berbicara.
Anis semakin memperdahsyat serangannya. Serangan seorang istri yang merasa hati suaminya telah terbagi gara-gara seorang wanita lain.
"Sering ketemu, begitu kan lanjutan kalimatmu tadi ?!"
Aku runtuh. Pertahananku sia-sia.
Anis begitu mengerikan di mataku. Ia segarang singa.Aku menjadi semakin takut, bukan saja kalau aku kehilangan Anis. Tapi lebih dari itu. Kami berdua bertengkar hebat sampai jauh malam, dan baru berhenti setelah aku meminta maaf padanya dengan janji akan memutuskan persahabatanku dengan Beika. Tapi rupa-rupanya, keputusan ini menganggu konsentrasiku.
Selama seminggu, Mr Big beberapa kali menegur. Bahkan akhirnya menyarankan untuk mengambil cuti barang dua tiga hari. Tapi kutolak dengan halus. Akhirnya kuputuskan, Beika harus tahu masalah ini.
Bukit atas kawasan Parangtritis, mungkin akan menjadi tempat terakhirku dan Beika bisa bercakap-cakap sebagai sahabat. Ah, sahabat ?
----------
"Istrimu marah besar ya ?"
Dalam hati aku membatin. Beika, inilah kenyataan yang kita hadapi. Persahabatan yang kita tanam kini mulai berbuah, meski manis tapi beracun. Satu isyarat bahaya yang tidak bisa dibuat main-main. Setidaknya Anis sudah memberikan peringatan, sebagai istriku, yang telah dengan setia memberikan tiga orang anak sampai tahun ke delapan usia perkawinan, melimpahiku dan ketiganya dengan kasih sayang tulus.
"Apa aku perlu datang padanya dan menjelaskan semua ?"
Beika menatapku, dan ia menawarkan solusi simalakama, antara ya dan tidak. Antara meneruskan persahabatan kami atau melupakannya, kembali seperti dulu dua tahun silam, sebelum kami saling mengenal di resto KFC. Hanya sebagai rekan bisnis. Berat tapi harus.
"Aku pikir, kau tak perlu ke sana."
Tiba-tiba aku merasa bahwa tiupan angin yang datang dari arah laut membantu mataku menemukan keindahan pada diri Beika. Mungkinkah aku ingin jadi angin, bebas tanpa ikatan, mengibarkan gerai rambut Beika, membuatnya merasa nyaman terbelai?
Aku tertawa, dan itu membuat Beika menolehkan kepalanya. Ia memperhatikan sebentar dan ikut tertawa. Barisan gigi putih segera nampak.
"Lang, mau kuberitahu sesuatu ?"
Ia menyisipkan pertanyaan di tengah derai tawanya. Tawaku berubah menjadi senyum,"Boleh."
"Dua hari yang lalu, suamiku juga marah-marah."
"Jangan bercanda. Kupikir suamimu orang yang paling pengertian."
"Mungkin. Tapi dalam batas tertentu ia juga berhak marah."
"Karena aku ya ?"
"Begitulah."
Di kejauhan, tampak hamparan laut selatan menjadi permadani bergelombang yang tak pernah berhenti bergerak. Lamat-lamat, suara ombak memasuki telinga. Bergelung dan menciptakan kenyataan yang mungkin sama-sama kami rasakan. Kenyataan yang sulit dibantah tentang Lang dan Beika.
"Lang, aku jatuh cinta padamu."
Aku tidak terlalu terkejut ketika akhirnya menerima kenyataan yang kutakutkan dari Beika. Sebuah kenyataan terburuk yang harus dihadapi saat ini.
"Jangan main-main Beika. Ini terlalu berbahaya."
Beika hanya menatapku teduh, entah mengiyakan atau sengaja tak ingin menjawab.
Aku tahu, mudah bagi seseorang seperti Beika untuk jatuh cinta. Tapi dilain pihak, aku juga paham. Pasti berat memutuskan untuk jatuh cinta padaku. Maafkan Beika. Ini sesuatu yang terlarang.
"Kalau begitu, kita harus bisa menghentikan bencana ini sekarang juga."
Ah, perasaanku hambar dan asing.

KOGE, Desember 05, 2000






Perawan Gempil Pingpitu

Retno itu anak semata wayangnya Pak Dukuh. Kembangnya kampung Gempil Pingpitu, begitu orang-orang bilang. Walaah, padahal dulunya masih bocah kecil yang pasti ingusan kalau musim pancaroba tiba. Maklum, pilek. Ia juga acapkali menjadi korban hardikan mbah Jay saat main-main di kebunnya.
" Minggir sana bocah kecil. Beraninya kalian kelayapan di kebunku. Mau diculik wewe apa ?"
Maka si Retno bersama dua teman perempuan kecilnya pun lantas mengkerut mundur, tanpa membantah dan segera lari menjauh sambil ketawa cekakak cekikik. Namun gerundel mbah Jay tetap saja berlanjut,
 "Anak-anak tidak aturan ! Mosok cah wedok berani mencuri ketela. Dasar jaman sudah kisruh !" Sambil merapikan tanah kebun dan mengambil dua bonggol ketela yang belum sempat dinikmati para pencuri cilik, Retno dan csnya.
Tapi, lain dulu lain sekarang. Begitu buah di dada Retno mulai tampak berisi dan busung, hampir semua pemuda lupa pada ingusnya yang pernah meler ndak karuan dimusim hujan. Lupa pada gadis kecil yang hobi blusukan ke sawah, ikut-ikutan mencari cacing buat menyaingi kaum laki-laki yang senang memancing di sungai dan sekali-kali pancingnya nyasar ke blumbangnya juragan ikan, Pak Usman. Bahkan mbah Jay sendiri, kalau memergoki Retno lewat, ia pasti berkelakar menggoda," Nok ayu, mau ketela lagi apa tidak. Itu dikebon besar-besar lho.."
Retno benar-benar berubah. Menjadi cantik dari hari ke hari. Akibatnya, di desa Gempil Pingpitu mulai muncul persaingan antar pemuda. Yang sibuk bukannya Retno, tapi malah kedua orang tuanya yang hampir tiap malam minggu harus sedia teh ekstra untuk menjamu para tamu yang macaknya khas bujang kasmaran. Keren, tapi kental gaya ndesonya. Bukan cuma satu dua, tapi lebih dari sepuluh orang. Bahkan, kalau diingat-ingat, pernah suatu hari, hampir mencapai dua puluh orang. Sesudah ashar sembilan orang, dan sisanya datang bergiliran sesudah maghrib. Mereka berdua bisanya ya cuman geleng-geleng kepala.
Suatu malam, si bapak bilang pada ibunya Retno di ruang tamu, setelah jam menunjukkan pukul sebelas malam,
"Jebul anakmu ayu tenan Bune," sambil menghisap dalam-dalam lintingan rokok padud, oleh-oleh keponakannya yang dua hari lalu datang dari Kotagede.
"Pakne," Kata si Ibu menyambung ucapan suaminya, "Punya anak cantik itu berat. Harus siap mental bener. Kalau tidak, bisa kapiran tenan."
Si bapak hanya tersenyum. Ia bisa menebak ke arah mana pembicaraan itu berjalan. Namun, ia ingin mengetahui juga bagaimana lanjutan ucapan istrinya tadi.
"Berat bagaimana to Bune. Dasar ibunya cantik, anaknya ya pasti ikut-ikutan cantik."
"Alaah, njenengan niku. Maksudku itu, berat dalam hal menjaga biar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."
"Lha kalau terjadi sesuatu yang diinginkan?"
"Mestinya ya Alhamdulillah, pripun to njenengan, kok nganeh-anehi."
"Oo..," Jawab bapaknya Retno, lantas membelokkan pembicaraan,"Tahu ndak Bune, Retno itu diam-diam sudah menimbulkan semacam konflik kecil-kecilan. Kecantikannya selain membuat budget pengeluaran kita membengkak, juga memunculkan perang dingin dikalangan pemuda."
"Ya jelas to. Sama persis seperti aku dulu. Untung njenengan cerdas. Kalau tidak, mana mau aku kepencut sama njenengan yang kalau dipikir-pikir, bisa-bisanya bikin aku kelimpungan setengah mati." "Waah, itu ada jurus rahasianya. Pakai sowan kyai sama istikhoroh je."
Mereka berdua lantas tertawa terpingkal-pingkal. Sedikit mengenang masa lalu ternyata bisa membuat hati dua orang tua itu berbahagia. Retno adalah karunia, amanah dari Pangeran Kang Murbeng Dumadi yang harus mereka rawat sebaik-baiknya. Namun dibalik amanah itu, tetap saja ada yang membuat hati dua orang tua yang sedang menikmati malam itu, memendam sedikit kekhawatiran. Maka akhirnya, mereka sepakat untuk berbicara dengan Retno keesokan harinya.
----------
Matahari sore bersinar lembut. Pancarannya tak segarang waktu siang. Di belakang rumah, tampak Retno duduk di atas dingklik dekat tungku api, menemani ibunya yang sedang mempersiapkan makan untuk nanti malam. Sesekali, tangan halusnya bergerak memasukkan tumpukan kayu bakar yang berdesakan di mulut tungku, menjaga agar nyala api tak mengecil. Uap dari ketel tempat menanak nasi mulai mengepul kuat, keluar dari sela-sela tutup ketel dan membumbung naik hingga menyentuh atap dari bilik kecil yang sengaja dibuat setengat terbuka itu
"Nduk, tolong ambilkan bumbu buat nyambel di dapur. Kita akan bikin sambel teri kesukaan bapakmu," Pinta si ibu,"Jangan lupa coweknya sekalian ya."
Retno tersenyum manis. Deretan gigi yang tertata rapi segera menyembul dari balik bibir mungilnya. Tubuhnya beranjak dari dingklik dan langkahnya tertuju ke arah dapur.
Tidak berapa lama setelah Retno beranjak, dari balik gerumbul pohon pisang muncul seorang lelaki berpakaian hitam, kopiah putih tanda haji melekat di kepala dan berjalan dengan langkah-langkah tegap. Rupanya ia adalah pak Dukuh, bapaknya Retno yang baru pulang dari pengajian ba'da Ashar di masjid kampung. Ia segera mendekat. Begitu tahu bahwa yang datang adalah suaminya, ibu setengah baya itu tersenyum.
"Bagaimana Bune, apa kamu sudah bicara sama si genduk?"
"Belum. Njenengan saja yang ngendiko sama dia. Biar nanti aku yang nambah-nambahi."
"Lho, kok malah aku. Piye to Bune iki."
"Ah, aku ndak kepenak. Tadi siang sih sudah nyenggol-nyenggol. Tapi, dia cuma diam. Entah ndak denger betulan atau pura-pura."
Dari balik pintu, Retno muncul. Ia tersenyum begitu melihat bapaknya yang baru pulang dari pengajian, lantas membawa barang-barang yang tadi diminta, dan meletakkannya di dekat si ibu yang mengucapkan terima kasih.
"Pripun pengajiannya tadi pak. Mbok saya dicritani, biar ketularan pinter seperti bapak." Kata si Retno setelah meletakkan pantatnya kembali di atas dingklik.
"Pengajiannya ramai seperti biasa. Kaji Dul Hadi memang enak kalau ngisi. Selain pinter humor, beliau juga bisa menyelipkan banyak hal tentang hidup manusia di dunia, terutama masalah hikmah." Jawab si bapak panjang lebar.
"Maksudnya hikmah bagaimana pak?" tanya Retno.
"Ya, intinya bagaimana kita mengambil pelajaran dari berbagai masalah dalam kehidupan to," Sahut si ayah ringan, dan menambah,"Termasuk kamu nduk."
Retno menoleh. Segera kerut didahinya menampakkan tanda bahwa ia belum memahami maksud perkataan bapaknya,"Maksud bapak?" akhirnya ia bertanya.
"Ya itu, yang tiap malam minggu itu nduk."
Begitu mendengar perkataan si bapak, Retno langsung memahami apa yang dimaksud. Ia sebenarnya ingin terus terang, namun selalu dibayangi keraguan yang membuatnya terus menunda-nunda untuk berbicara dengan ibu bapaknya. Sore ini, kesempatan kembali datang, pikirnya. Ini tidak boleh di sia-siakan.
"Pak, Retno punya satu permintaan. Tapi ini kalau boleh lho pak, bu."
"Bilang saja nduk. Kalau tidak neko-neko, Bune pasti membolehkan. Bener to Pakne?" Sahut ibunya, sedikit mencari pembenar dari si bapak yang menganggukkan kepalanya tanda setuju.
"Retno ingin ke Kotagede."
"Kotagede? Di sana kamu itu mau opo?" Tanya bapaknya lembut. Penasaran.
"Mondok pak." Kata retno lirih.
Kedua orang tua itu termangu. Mereka tidak menyangka kalau permintaan anaknya seperti itu. Terbayang dalam benak mereka, jika Retno mondok, rumah akan sepi.
Retno melanjutkan perkataannya," Retno sendiri sebenarnya gundah. Tapi, bukan berarti Retno tidak senang punya kawan banyak. Hanya saja, Retno pikir apa yang mereka lakukan sedikit mengganggu, baik Retno mau pun bapak dan ibu. Lantas Retno harus bagaimana pak? Mosok kawin. Huu, moh ah. Masih terlalu muda Retno ini."
"Kalau kawin beneran, maunya sama siapa nduk?" Bapaknya lantas menggoda.
"Aaa... Bapak ki. Pokoknya moh. Aku belum mau kawin. Aku mondok saja di kotagede, biar bisa pinter ngaji seperti bapak."
"Bener nduk? Kamu bener-bener mau ngaji di Kotagede? Kok tidak di Krapyak saja, atau Ngrukem sana, sekalian ngapalkan Qur'an." Kata si Ibu.
"Ntok bilang, Kotagede lebih bagus sistemnya ngajinya pak. Lagipula, suasananya enak. Tidak terlalu ramai, juga tidak terlalu sepi. Keamanannya terkenal ketat, jadi Retno tidak terlalu khawatir dengan kejadian semacam di rumah. Pokoknya terjaga."
Kedua orang tua Retno saling berpandangan. Mereka tahu kalau Retno sudah memberikan solusi terbaik tanpa perlu tedeng aling-aling. Dari pandangan keduanya, Retno sendiri sudah bisa menangkap bahwa keinginannya akan terkabul.
"Di sana juga ada madrasah Huffadz lho bu, pak"
"Bener itu keinginanmu nduk?" Tanya si Ayah,"Tidak dikarenakan hal-hal lain, tapi datang dari niat ikhlasmu cari ilmu?"
"Retno jujur pak. Retno ingin mondok, biar pinter seperti bapak."
"Kalau begitu, nduk, dengar baik-baik. Pakne sama Bune merestuimu. Seminggu lagi kamu boleh berangkat ke sana. Biar nanti pakne sama Bune yang antar. Sekarang, cepet itu sambelnya di buat. Pakne selak kelaparan. Apa kalian berdua tega melihatku kemecer begini rupa?"
Sore itu, mereka bertiga tertawa renyah. Matahari semakin turun menuju peraduannya. Sebentar lagi maghrib akan berkumandang, mengiringi kebahagiaan Retno. Dan malamnya, ia mimpi indah tentang Kotagede. Sepupunya bilang, pondok itu bernama Nurul Ummah, atau cahaya umat.
----------
 "Bune, aku kangen sama si Genduk. Kangen berat."
"Wajar pakne. Lha wong aku saja sampai mimpi tiap malam kok."
"Empat bulan dia di sana. Semoga saja betah"
"Heeh, ini sudah akhir bulan lho pakne. Biasanya, dia kirim surat tiap tanggal satu. Berarti besok suratnya pasti datang. Kita tunggu saja."
Keesokan harinya, surat yang diharapkan datang juga. Dengan kegembiraan yang meluap, surat itu dibuka hati-hati sekali, khawatir robek bagian dalam.
Dalam surat itu tertulis, "Biar aku saja yang baca Bune, sini suratnya."
"Yang keras pakne.."
"Dumateng bapak sama Ibu yang Retno hormati. Retno mau pulang. Disini ternyata tidak beda dengan dirumah. Telpon dan interpon sering berdering untuk Retno. Retno jadi terganggu, ndak bisa konsentrasi ngaji. Pokoknya bapak harus ke sini, Retno.."
"Oalah nduk nduk. Kamu itu cantik. Di mana pun ya tetap cantik." Kata si bapak.
"Bune, anakmu pengin pulang itu."
"Pakne.. pakne..,"
"Apa bune, apa kamu membolehkan kemauan Retno??"
"Bukan, itu.. anu.., interpon itu apa to pakne?"
"Weeh, itu toh. Lha yo embuh Bune..!!"


Kotagede, 2000


Copyright  (c) Teater Puspanegara
2003