CATATAN IMAJI
ALEX CANDRA WIDODO Isi :
Andrenaline Aku adalah anak gembala selalu riang serta gembira. Karena aku senang bekerja tak pernah malas ataupun lelah. Lala-lala. Kita akan segera mulai percintaan ini hanyut dalam sungai kata-kata yang penuh ambisi tak pernah berujung pangkal dan melankoli. Panggil aku melankoli katamu dan kaupun jatuh pingsan dalam sebuah bayangan takjup di layar lebar. Tuts-tust komputer yang menggoyang-goyang lidah pagi-lidah pagi, matahari membuka apa adanya seperti tangan seorang gadis yang mulus. Seperti juga telah ada dua sandal jepit saling tindih saling injak dalam korslet dalam keangkuhan yang tak pernah terselesaikan. Aku mencium bau kentutku yang keluar dari dalam bukit yang gundul itu bukankah hari telah melewati sebuah genangan pasir yang membusuk karena ada mayat di dalamnya dan telah mati digantikan gadis SMU yang berseragam abu-abu yang cantiknya aduhai, ia begitu senyum sekarang bibirnya merekah, maukah kau hapus bekas bibirnya dengan bibirmu sayang agar kita lekas bercinta seperti sedia kala tanpa pernah bersalah. Telah hadir orang tua bungkuk yang membawa keranjang sayur: ia lewat di depan rumahku dengan tatapan mata menaruh keikhlasan. Ya baginya dunia telah tergenggam dan hampir tak ada lagi pertanyaan-pertanyaan lama, baru atau kata-kata yang menyublim dalam mulut orang-orang yang berbusa dan pada mabuk itu. Pemuda-pemuda desa di sini pada suka mabuk. Minum-minum sesuatu yng membuat mata mereka selalu merah padam. Pipi mereka merekah tapi bukan seperti gadis pembawa tas kuliah dengan buku yang ada dalam dekapannya, yang ada hanyalah kertas-kertas. Kasur tua yang berlapis debu yang telah ada sejak sebulan yang lalu, selimut acak-acakan dan bau aneh yang telah mengering . Kira-kira begitulah keadaan kamarku, lantai semen lama yang telah dilapisi dengan karpet tebal sebesar empat mili. Dengan rasa hangat yang akan selalu menjalari kaki-kaki yang menginjaknya. Tetapi mata-mata kucing berkeliaran. Ketika ujung cahaya senter menyorotnya mata-mata kucing berubah mata-mata hantu. Menyelorot dalam kegelapan dan ia pun kaget seperti tercekik dan tak ada lagi nafas tercipta kecuali hanya ingin yang amat sangat. Ia memang tengah memakai kaos yang akan membuatnya lupa jika dalam kutangnya terselip surat kekasihnya yang empuk lindap dan gurih. Roti yang telah ia bakar pagi-pagi diolesi mentega yang dibelinya dengan uang kost selama tujuh hari-tujuh malam maka semoga kau mampu menebak berapa biaya kostnya. Semuanya bagai serdadu serempak dan seragam membisu dan membuang moncong-moncong senjata ke udara, ke atap langit yang menggumpal, mendung menggantung dan tanpa cemara tanpa pekik burung-burung kecil semacam pipit ataupun burung-burung gereja yang terbang bagai sayap-sayap rapuh. Jiwa-jiwa yang hilang tanpa meninggalkan luka sedikitpun. Sempurna dan penuh kepolosan sebagaimana seorang anak kecil yang memegang kelereng alias gundu yang selalu kalah. Maka tangan dan kakinya bagai tersentak bagai api bagai mesiu yng ditembakkan kanon dari seberang dua tiga pulau ke arah timur dimana matahari terbit lebih dini dan malam menghampirinya lebih pagi dan suasana yang mencekam lumut-lumut yang merekah pelan-pelan merayap dengan jawaban pasti akan makan apakah lumut-lumut itu, juga jamur-jamur itu juga rumput-rumput yang membuat kuda-kuda terus berpacu menembus waktu dan angin yng runcing sengit seperti bunyi derap kaki serdadu dalam paruh waktu yang meregang dan membuat kita betah akan jalanya hidup yang rumit dan bertenaga, barangkali kita memang tak pernah akan tahu dimanakah pakaian-pakaian kita sebenarnya disembunyikan dan dibakar menjadi semacam sampah yang membuat kita tergagap dan gamang sebagaimana bunyi mesiu sebagaimana bunyi langkah kaki yang bertalu talu. Kita takkan pernah siap. Deretan lampu pijar, cahaya remang kota, kabel-kabel yang melayang diudara mengiringi sinyal-sinyal elektorn dengan kecepatan hampir seperti cahaya, melesat dari satu tempat ke tempat dari satu lampu pijar dari satu monitor ke monitor yang lain. Tapi kota terus berasap. Di bawah jembatan Aberden Tauing-taingnay kadangkala bergeduberak bergerak bergetar hebat jika ada truk besar lewat, di situ dua ekor pemulung biasa tertidur dan berlindung dari tetes air hujan dari dingin dan cuaca buruk. Sungai yang kotor tersendat-sendat dan menjijikkan, maka ia datangi kampusku dahulu. Gedung-gedungnya yang tua mengingatkannya pada masa ketika ia kuliah. Tapi ia bukannya hendak kuliah di sana, hanya mnejadi pemulung dan mengaisi sisa-sia kertas yang tercecer, sisa-sisa kertas makalah yang terselebar di tong-tong sampah. Suatu kala memang ia menemukan kondom ataupun celana dalam yang telah robek. Tapi ia tak pernah malu untuk mengatakan jika ia mengambil celdam itu mencucinya dan dikenakanya sebagai ganti kesehariannya. Aku Adalah Jaminan Kesetiaanmu Yang Gamang Aku adalah jaminan kesetianmu yang gamang Pintu pagi membuka di mana pintu tersembunyi bayangmu, trotoir yang lusuh, apotik yang mengandung kebejatan. Aku tak mau ikut-ikutan. Perjalanan ini. Menyesakkan dan perih lamat-lamat terhapus dari bibir kita yang pucat. Warna, sejuta warna, merah biru oranye kuning seperti tahi yang kau kandung dari dalm perutmu. Aku bisa saja menusukmu sekarang dan mengeluarkan segenap kotoran yang keluar dari dasar otakmu. Kau tak akan pernah sadar memang, jika bawah sadarmu selalu mengatakan kekejian itu. Tamasya sekarang tengah naik elang, menjadi elang yang melayang dia atas kawat-kawat listrik tong tong sampah, mata elang demikian tajam sampai bisa melihat hitamnya pantat tikus yang bersembunyi di balik kolong lubang di bawah roda mobil. Aspal itu memang sudah berlubang-lubang. Pembangunannya penuh korupsi. Mata elang sekarang menerawang. Meliuk di atas dahan-dahan pohon palem dan bayangannya tepat jatuh pada rumpun lidah buaya. Matahari memang masih pagi, condong. Taman balai kota itu masih sepi, hanya mas Hilmy, pegawai muda, pegawai sewa yang baru masuk 6 bulan lalu, sedang pegawai lain barangkali masih asyik berpeluk dengan istri keduanya. Elang meliuk di atap balai kota, sayapnya terbentang, mata mata elang, tajam seperti mata kata, bisa dengan mudah mengucurkan darah yang sesaat lampau masih asing di telinga kita. Mata elang menderu bersama angin, pengikut setia, mendarat tepat di sebuah dahan pohon mangga di tempat kost ratna, ya ini adalah seorang putri tempat kau dan kita jatuh cinta, lalu otak kau dam otak kita menjelma bayangan-bayangan dia, hidungnya yang pesek dan tubuh pendek tanpa proporsi seksi satupun tak membuatmu berpaling darinya. Sang putri memang punya warna tersendiri. Mata elang , matanya yang tajam, berada di sebuah dahan pohon mangga tepat di depan jendela kamar dimana Ratna sedang duduk tercenung di depan buku harian yang terbuka. Mata elang mencoba menemukannya. Menemukan, menembus sampai pada tamasya kata di dalam kamar-kamar, bilik-bilik hati sang putri. Tapi sayang, mata elang terlalu sakit, telah ia lalui perjalanan penuh paku dan injak-injak duri yang begitu melukai bagai sembilu yang telah membelah ari arimu dan menjadi pembatas antar kau dengan ibu. Ari-ari memang telah ditanam dalam sebuah tanah galian dimana seekor anjing telah mengendusnya. Ari ari akan membauat si anjing awet muda dan gonggonnganya begitu menusuk ke perut para dermawan sehingga mereka kasihan dan memberikan uang pesangon kepada siapa saja yang berbakti berbuat baik asal ikhlas atau tak ikhlas tapi kelihatan oleh orang lain yang dihinggapi perasaan gila bersalah dan ketakutan oleh karena semau orang itu juga gila maupun belum semuanya saja. Uhuiy Kembali lagi kita pada elang. Elang terbang merendah, berubah wujud, transformasi kata, menjadi seekor kucing yang terbang lincah. Pendaratannya begitu mulus seperti malaikat yang penuh sayap. Lalu berubah dengan pelan tapi pasti seekor elang kata menjadi kucing kata. Sepasang mata kanannya masih bening. Bahkan kali ini si kucing punya kelebihan yang tak dimiliki elang meskipun sang kucing tak bisa terbang. Sang kucing punya mata atau pengintai yang mampu menelusup dalam gelapnya malam. Ah, malam begitu rapuh mengental dan selalu berisik dalam samudera gelap dalam dan tak terdeteksi radar paling canggihpun yang dimiliki oleh kapal selam militer buatan Amerika, Jepang ataupun Ponggalan. Lagu mengalun lembut. Kucing menggeliat, menjilati ekornya yang penuh kutu. Sedang kutu-kutu meloncat. Dari satu bulu ke bulu yang lain dengan lincahnya. Kalau tak salah kucing berteriak mengeong oleh karena gatal para kutu. Ya, para kutu tengah demonstrasi karena induk semangnya menderita cacingan. Cacingan membuat darah yang dihisap kutu menjadi tidak mendarah daging lagi. Tinggal sisa-sisa gisi yang terserap. Padahal kutu suka darah rasa, dan darah rasaa es nanas. Tapi sayangnya gerombolan cacing juga manikmati jengkol dan jus nanas. Semua yang masuk ke perut kucing yang berbau kedua unnsur itu langsung dihisap sampai licin tandas. Kucing kebingungan. Jatah jengkolnya hanya satu piring hanya cukup untuk dirinya dan gerombolan cacing dalam perut. Maka para kutu nyaris tak kebagian sehisapun. Para kutub demonstrasi lagi. Gigigitan-gigitannya semakin tajam. Kucing meloncat. Tak jadi melanjutkan tamansya kata yang diberikan amanat dari elang . Kucing memggeliat-geliat, menggibaskan seluruh tubuhnya agar para kutu mabuk dan pusing. Orang -orang yang melihat kucing itu telah mengiranya edan, rabies, hilang akal. Dasar kucing. Tapi kucing cuek saja. Kutu-kutu ada satu dua yang jatuh, meloncat-loncat ke tanah sebelum pada akhirnya binasa. (seorang professor dengan sebuah mikroskop menelitinya dan menemukan kutu kutu yang mati itu memakai ikat kepala bertuliskan "makan jengkol atau mati"). Lain lagi nasib kutu-kutu yang bertahan di bulu -bulu. Dengan segenap keras keringat ia mencoba bertahan, bergelanjut di dahan jamur panau dan bulu-bulu, sampai pada kutil kucing. Mereka lalu beranak pinak, membuat beribu-ribu lagi telur kutu hingga pada saatnya menetas lagi diharapkan bisa meneruskan perjuangan mereka. Demonstrasi terus berlanjut. Kucing sementara waktu bisa tenang, tapi tunggu saja, dua atau tiga hari lagi, disaaat jutaan telur kutu menetas, kucing akan lebih menderita lagi. Hi hi hi, akal bulus setan. Sang kucing enggan mengurusi kutu menjijikkan itu. Dengan segenap cara ia meloncat setingi tingginya, akan ia lanjutkan lagi kisahnya yang sebenarnya, tamasya kata. Lamat-lamat, pelan tapi pasti kucing merubah wujudnya menjadi kelelawar. Kelelawar yang mempunyai penciuman tajam. Mempunyai telinga yang demikian peka hingga mampu mendengar bumi yang berbisik, desah bambu sampai dengan tuts keyboard dari sebuah warnet di negara yang bernama argentina. Ia dengar juga seorang anak kecil tengah bersendawa sehabis makan paha ayam di bawah jembatan Manhattan. Kalau tak salah (seorang temannya lagi berbisik) ayam itu didapatny dari hanyutan kali di bawah jembatan Manhattan yang banjir. Kelelawar telah sempurna berwujud. Kucing sementara ini tak ada. Tinggal kelelawar yang tubuh dan sepasang matanya hitam. Sayap-sayap yang sepertinya ringkih. Tetapi kelelawar mempunyai perawakan misterius, seperti malam yang telah melahirkannya. Gigi gigi yang runcing seperti belati diasah tujuh kali di sebuah batu di tepi telaga di bawah pohon akasia yang akar-akarnya bagai betis-betis raksasa. Kebekuan dan dingin bertahta di dalamnya. Kelelawar mengepakkan sayapnya. Dalam angin yang berhenti, kelelawar tetap bisa terbang. Melintasi semak belukar, dan jauh terusir dari kota yang penuh neon box, lampu flip-flop dan musik musik dansa, dan musik musik tekno yang menghentak-hentak yang mampu mengunci otak-otak sekelas Ratna yang bloon tapi tak lebih pintar dari tikus. Tapi Ratna punya cinta tak seperti lelaki dii sampingnya yang dianggapnya adalah kekasih setia. Ia lebih parah lagi. Huuu. Maka, tahukah namaku, sepasang bersayap yang bergerak misterius. Orang-orang mengiranya binatang linglung. Tapi salah mereka orang-orang bodoh tak tahu jika kelelawar punya telinga demikian peka. Ribuan kali lebih peka dari telinga manusia yang tak mampu lagi mendengar bisik hati mereka sendiri dan detak jantung mereka yag selalu mengatakan "lelah-lelah lelah-lelah" tapi manusia cukup culas untuk mengunci pintu pendengarannya. Maka semenjak diciptakan, pintu pendengaran manusia telah dipatahkan kuncinya oleh dua malaikat kecil di lengan kanan-kiri agar manusia lebih berfikir dan lebih bijak pada apa artinya waktu yang demikian terlambat-demikian terlambat. Kelelawar kini terbang, kelelawar kini terbang, jauh kebelakang, ke sebuah malam pengasingan. Di telinganya deru dunia bisik-bisik berita tentang gedung yang meledak, asap yang membikin hutan terbatuk, semua membuatnya pusing dan mulutnya memekik. Ya kelelawar memekik demikian nyaring oleh karena milyaran-milyaran suara sibuk itu. Tapi sedemikian nyaring suara yang keluar dari mulutnya itu hinggga tak terdengar pada telinga mereka. Aku Berbaring Sendirian Aku berbaring sendirian Sahabat, tak ada lagi buat berdebat. Bersenda tentang seorang gadis yang centil. Aku hampir pingsan. Pada hitungan ketujuh barangkali aku telah melesat mendahuluimu. Biarkan suara-suara diluar begitu hibuk. Orang-orang yang selalu sibuk. Musik menghentak. Meledak-ledak. Underground. Rock. Keras sekaras karang. Sahabat jika kau masih bersikukuh. Bertahan pada keinginanmu yang nyaring bagai tangis bayi, mau tak mau aku akan meninggalkanmu. Meskipun nanti, bisa dipastikan, para gadis menjerit, menggigit bibir hingga berdarah. Tak apa. Mereka memang tengah lengah. Tapi apakah aku juga sedang tak kalah? Entah. Kalah dan menang adalah sesuatu yang absurd, berbatas tipis seperti tissue atau selaput mata kucing. Kita tengah berdiri di sisi apa tergantung orang memandangnya. Dan aku tak peduli orang-orang. Masih mendongakkan kepala, dengan angkuh dan berkata "inilah dadaku" Sebagaimana Bima dengan matanya yang bulat besar, yakin pada keyakinannya, sendiri. Cinta Adalah sebuah Anugerah Cinta adalah sebuah anugrah. Lalu bagaimana kita bisa memungkirinya. Cinta itu datang secara tiba-tiba mengucur dari langit seperti hujan yang akan menenai setiap kepala orang yang berusaha berteduhpun akan terkena uap dinginnya atau percikan airnya. Kemudian jika cinta anugerah tinggal bagaimanakah seorang manusia mensikapinya. Hanya akan ada dua pilihan akan anugerah cinta itu. Menyimpannya atau mencurahkannya. Jika ia simpan, seperti ia menyimpan bara dalam tungku dan sekam, jiwanya akan terbakar dan akan binasa bila tak mampu meredamnya. Kemudian ketika cinta itu dicurahkan, dan ditumpahkan pada sebuah kecintaanya, maka akan terjalin sebuah energi saling melenkapi. Tapi bagaimanakah sebuah cinta yang bertepuk sebelah tangan. Salah siapakah? Copyright (c) Teater Puspanegara
2003 |