teaterpuspanegara

CATATAN - CATATAN BERANDA
AJIE  F.


Isi :

Tua
Jeritan
Hanya Waktu Tak sama
Tambah Mati  ( cerita cekak basa jawa )
Aduh (fragmen komedi basa jawa )



home
Tua

        Belajar mencintai bayang-bayang. Mungkin kata itu yang tepat mengambarkan kelakuan ayahku. Saat ditinggal ibuku, ayah selalu pergi berdandan rapi, semir rambut sampai menetes. Dan bersiul di depan kaca. Seperti itulah tipologi lelaki yang tengah jatuh cinta.
        Saat pergi, ayah tidak pernah mengatakan apapun kepadaku. Menyelinap, diam-diam dan wus, menghilang begitu saja. Dan ibu tak pernah pulang, entah sampai kapan.
        Banyak tetangga bilang, katanya melihat ayahku bersama perempuan di pantai anu, di kafe anu, dan di hotel anu, anu dan anu. Mungkin anu-anu, kata tetanggaku. Aku tak ambil peduli, terserah apapun itu. Aku menunggu ibuku pulang saja dengan mengerami anuku dirumah. Itu saja.
        Seperti biasa, ayah pulang. Membuka pintu kamarnya dan menutupnya dengan keras. Brak ! dan langsung tidur. Lelah dan mengantuk. Para wanita telah membuatnya kehilangan sesuatu. Dan malam bertambah sempurna.
        Pagi hari. Entah kenapa tiba-tiba aku ingin menelpon pacarku. Sudah tiga minggu aku tak bertemu dengannya. Kuputar nomornya. Tut, tut tut. Tak diangkat. Lagi, tut,tut,tut. Tak diangkat pula. Ya sudah, aku tidur lagi, meski jam sudah delapan pagi.
        Ayahku tidak pernah berhenti menyelinap dan menghilang. Bahkan pembantuku tidak pernah tahu masalah itu. Bapak terlalu sibuk, mas, katanya. Dan pantatnya yang besar dia goyang-goyangkan. Bah. Aku tidur lagi.
        Ayah masih terus menyelinap dan menghilang, dan ibu pelum pulang juga.
        Sekarang aku tidak hanya menunggu ibuku pulang, tapi juga menunggu ayahku pulang.

sedetik lagi aku berangkat, 11 des 2001








 Jeritan

            Semenjak datang, dia selalu berdiam diri di pojokan itu. Penuh dangan sobekan kertas atau kain-kain yang karena pengaruh waktu terus saja mengeluarkan bebauan yang menyengat hidung. Diantara rumah-rumah. Rumahku dan rumah Amelia, tetanggaku yang centil dan masih belum punya cowok, karena penuh jerawat di wajahnya.
            Dengan rokok di tangan, mungkin baginya semuanya akan lebih mudah berakhir dan bermimpi. Tapi tidak bagiku. Justru dengan mengeraskan rambut dan membuat otak kita jadi beku, membuat mataku tambah sakit. Sesuatu yang abstrak, tapi memungkinkan untuk berlari lagi saat dikejar anjing. Seperti kemarin.
            Lagi-lagi dia datang lagi. Mengambil posisi yang sama dan berlagak sama seperti kemarin daan kemarin lusa. Entah mengapa dia sangat hapal, bahkan seorang dokter yang sanggup menghapal berbagai macam nama bakteri pun akan menggelengkan kepala keetika kutanyakan : kenapa. Rokoknya terbakar dan dengan satu sedotan dia terbang. Aku hanya menggelengkan kepalaku keras-keras. Begitu hebat dia menghapal bumi.
            Andre, begitu katanya nama yang kukenal dari Amelia, saat Amelia memenceti isi jerawatnya untuk dilekatkan di sisi sampul majalah remajanya. Ooo..jadi namanya Andre. Nama sebagus itu mestinya duduk santai di depan dapur, menikmati masakan ibunya atau mulai belajar menciumi kekasihnya. Kembali aku menggelengkan kepalaku. Kali ini lebih keras dari biasanya.
            Amelia masih juga memenceti jerawatnya yang merah-merah seperti cat. Aku berteriak melihatnya. Amelia juga berteriak ketika Andre berdiri dan kencing. Cur-cur-cur.
            Semuanya melelui jalan evolusi, ketika terjadi pembelajaran. Saat Andre mulai menambah adegan kencing. Saat itulah terjadi banyak perubahan dari sejarah yang terkoreksi. Dan Amelia jadi lebih sering menjerit, entah karena melihat Andre kencing atau jerawat di ujung hidungnya yang semakin lama semakin membesar. Dan aku pun punya kebiasaan baru : menguak gorden untuk menegok ekspresi Amelia saat berteriak. Mungkin aku telah terbiasa mencintai gadis berjerawat atau malah jerawat itu sendiri yang berevolusi untuk menjatuhkan cintanya kepadaku. Kututup gorden dengan dada berdebar.
             Kemarin masih terdengar jeritan Amelia dan matahari mulai terbenam.
             Hari ini masih juga Amelia menjerit dan mungkin matahari akan terbenam.
          Besok, aku yakin Amelia tidak akan menjerit lagi. Karena malam nanti akan kubunuh mereka semua : Andre dan Amelia, sampai mati dan tidak berbau lagi. Sungguh. Jeritan dan suara kencing membuatku bertambah gila. Atau mungkin gila.
            Tiba-tiba terasa senggolan manis di bahuku.
            Aku menoleh.
             " Ayo, cepat. Jangan berdiam disini saja, gila !"
            Perawat yang galak membentakku.
            Baru aku sadar, aku memang sudah gila. Dan di rumah sakit gila dan benar-benar gila.




Hanya Waktu Tak Sama


Anton :
Yogyakarta, pukul 5:21


            Aku terbangun karena weker yang menggerutu pagi ini. Setidaknya dia tak perlu terlalu bersalah, aku yang menyuruhnya tetap berbunyi nyaring pada setiap jam lima pagi. Seperti biasa, membutuhkan waktu lama ketika otakku harus menjadi satu kesatuan utuh. Banyak memori terpenggal ketika tidur, hanya menjadi mimpi-mimpi yang tak perlu menjadi basah.
            Kuambil air. Kusiramkan ke seluruh wajah. Uah. Kuraba sebentar daguku, supaya bisa mengontrol rambut yang seringkali nyaris keluar dengan penderitaan. Jelas, karena setiap hari kuintimidasi dengan pisau cukur merek biasa. Terasa masih licin. Dan aku siap untuk terbang bersama sajadahku, atau tempat tidur dimana aku selalu pasrah pada mimpi yang membawaku entah kemana.

Pukul 6:17
            Kuambil air dalam ceret, kunyalakan kompor dan siap untuk merdeka. Menikmati teh yang nyaris tidak manis, karena gula bukan sesuatu yang murah lagi sekarang. Kuambil gelas ukuran jumbo dan sret, jadilah teh panas yang membuatku merasa seperti seorang kapiten, pendekar atau maling. Sruput, mengalir di tenggorokan dan merang sang nadiku untuk menggoda perempuan kecil yang biasa nongkrong di depan kursiku. Ah, hidup memang menyenangkan.


Dewi :
Tokyo, pukul 8:32


            Udara yang sangat dingin membuatku terbangun, menginjakkan kaki di tatami (tikar jerami jepang), dan membawaku ke kamar mandi. Menyalakan lampu dan memuntahkan air panas yang menjadi hangat ketika keluar dari kran air bergaya romawi, yang dinding kebiruan membuat terasa nyaman. Sedikit dimicingkan, memandang dalam kaca di depannya, dan merasa sedikit buram. Mungkin belum sempat tidur tadi malam.
            Diambil handuk, dan kubersihkan mukanya, dan menenggelamkan tubuh dalam ranjang. Masih berpikir, masih berpikir. Aku masih saja cemas apa yang sedang kupikirkan.
            Kubanting bantal yang bergambar kucing, namun bukan masalahnya disebabkan bantal, namun karena aku tidak tahu. Benar-benar tidak tahu. Hari ini sepertinya jenuh melandaku.
            Mungkin aku kangen.

Tokyo, pukul 12:09

            Hari ini aku harus ke Saitama. Mencoba menemui Candra, seorang mahasiswa tingkat tiga universitas Saitama. Program master pada Theoritical and Practical Study of National and Local-level Policy Process. Di depannya aku harus berdandan lebih rapi, walaupun tak lagi terlihat rapi ketika harus berada di antara orang Jepang dan berlari keluar menuju subway tak terlalu jauh dari apartemenku di daerah Niigata.
            Kami telah berjanji untuk bertemu.


Anton :
Yogyakarta, pukul 9:30


            Aku harus kuliah, menenun kembali ingatanku tentang sesuatu yang pernah kupelajari namun tak lagi ingat. Kesalahan besar yang kupakai ketika kutahu bahwa cara belajar tak lagi sama seperti aku ketika sekolah dasar. Ku ambil catatanku dan pergi ke tepi jalan, menunggu teman lamaku. Seorang bis kota yang lamban.

Dewi :
Jepang, pukul 14:12

            Di kafe kampus, kami memesan ocha (teh hijau) dan makanan kecil yang tak lazim diminum ketika siang hari. Candra lebih banyak bercerita mengenai hobi barunya, mengumpulkan manga (komik) romantis. Kebetulan gaya desain Jepang sangat berbeda dengan Amrik, katanya.
            Dan akupun tersenyum.

Anton :
Yogyakarta pukul 14:10

            Orang -orang di sini sungguh berengsek. Jadwal yang terpampang di tempat pengumuman hanya menjadi korban tempelan - tempelan. Stiker, poster maupun susunan acara orang - orang yang suka bergembira dan kehilangan bolpoinnya. Jam kuliah kosong. Akupun menggeram, rupanya bis kotaku hanya berjalan mengantarkan orang yang terlantar justru bukan di dalam bis namun di rumah yang telah kubayar dari hasil mencekik orang tua.
            Kuputuskan untuk mampir ke tempat Ana, gadis bersuara lembut yang sering kugoda ketika kutelpon. Entah apakah pipinya masih memerah seperti kemarin dan lusa. Mungkin aku kangen.
            Namun kami belum berjanji untuk bertemu sebelumnya.

Dewi :
Jepang, pukul 16: 05

      Kami menuju puri Himeji yang mirip seperti burung bangau putih seperti salju. Mencoba merangsang kehadiran diri kami, dan menciptakan langit biru yang menjadikan Candra menjadi lebih berarti. Kami menikmati noh (drama tradisional yang dinyanyikan) tapi sedikit membosankan, dengan sedikit berdebar-debar. Musim haru (musim semi) pada bulan maret ini membuatku terasa jauh menjadi seorang perempuan. Menjadi sakura disamping Candra. Aku teringat saat Tanabata ( Festival Bintang - 7 Juli ) dimana keinginan - keinginan akan dituliskan untuk dikabulkan. Seperti itulah para pecinta saling memiliki.
            Kamipun bercinta.
            Aku berpikir, betapa merana orang yang gagal bercinta.

Anton :
Yogyakarta, pukul 16: 17

            Hari ini sangat menyakitkan. Ana tidak ada di rumah, katanya sedang dijemput pacarnya yang baru. Akupun meringis. Mungkin merah - merah di pipinya sudah habis dimakan pacar barunya. Aku menggigil dan pulang. Aku bukan yang pertama, ternyata.
            Aku gagal bercinta.
            Aku berpikir, betapa bahagia orang yang tak gagal bercinta.

Dewi :
Jepang, pukul 16:30

            Aku tersenyum.
          Dalam pikiranku mungkin Anton, adikku satu-satunya itu, sekarang tengah bersama kekasihnya.

Anton :
Yogyakarta, pukul 16:30

            Aku meringis.
            Mungkin kakakku, Dewi, mengalami nasib yang sama sepertiku.

disaat menunggumu di warungku, 14 feb 2003



Tambah Mati

    Aku enggal jumangkah nekani lawang sing kabukak. Sauaraku dadi serak, ora bisa ngomong kaya biasane. Omah iki katon peteng, sajak kelangan nyawa. Papan-papan kayu sing dadi temboke tansaya mengkeret. Lan Murti isih nangis ngguguk ana kursine.
    "Mas, dadi kaya ngono anggonmu njupuk keputusan,"
Aku mung njupuk ambegan dawa, pikiranku ora mlaku.
    "Mur, tak akoni pancen aku banget tresnane marang kowe. Nanging aku rumangsa ora mbok ajeni."
Murti nyawang kanthi mripat kekembangan luh.
    "Sampeyan sajake wis ora percaya karo aku, mas, karo bojomu dhewe. Apa aku iki salah mas ? Tumindhak ala, agawe wong liya cilaka ? Apa aku wis agawe jijik, mas, neng jerone atimu ? Mas....."
    "Dudu kuwi, Murti. Nanging atimu sajake wis ora kanggo aku maneh. Wis kanggo pawongan liyane. Ora ana panggonan maneh ing jerone atimu. Aku rumangsa dikipatake, sajak wis ora ana tilase. Luwih becik aku lunga saka papan kene. Uripmu wis ana kembange, Murti, lan kembang sing neng ngarepmu iki wis kelangan madune."
    Aku enggal jumangkah maneh. Tanpa noleh, aku banjur ngangkat tas kresek ireng isi klambi sing tak gawa, metu saka omah iki. Atiku lara, keiris-iris. Jumangkahku medhak lurus kairingan penjerite Murti nyeluk jenengku. Pikirku tambah peteng, tambah ora ana nyawane. Kaya pedhut sore iki sing tambah peteng. Tak tinggal omah sing gawe atiku perih iki adoh lan adoh.
Ana ing sawijining desa, aku leren neng gubuk cilik pinggir sawah kang ditanduri tela kaspe. Pancen daerah kene iki banget katinggal. Beda adoh karo kutha. Apa wae ana lan ketok nyenengake. Ana kene urip seneng wae ora isa. Saben dina mesti wae ana kahanan sing agawe susah. Omah mung agawe saka papan kayu, genteng kang gampang rusak lan lemah sing abang ora isa ditanduri. Papan padunungan kang agawe luh tansah brabak mili.
    Takdeleh tas kresekku ana cangkring kayu neng sandingku. Angin wengi tansaya atis. Swasana tambah anteng, teka langgar lor sawah lamat-lamat krungu suarane wong ngaji. Nanging lintang ing nduwur kana ngandaake yen wengi wis tambah wengi.
    Aku kesel. Sikilku tambah lara lan linu. Biasane aku kuat mung mlaku kaya ngene iki. Nanging pedhut peteng ing pikiranku agawe samubarange tambah kesel, sayah. Tak lumahke awakku, nanging mripat iki isih ndengongok ora isa diajak merem.
Murti iku bojoku sing tak kawin nalika isih umur patbelasan. Wektu iku umurku sangalasan taun. Saiki umurku wis telungpuluhan. Wong tuaku njodhoake aku karo Murti minangka pratanda reraketane sesambungan antarane wong tuaku karo Pak Marto, wong tuane Murti. Aku ora nyangka nek Murti iku anake Pak Marto. Aku uga ora ngerti nek aku dijodhoake karo Murti. Aku uga ora nyangka nek arep kawin karo Murti kanthi sah.
    Sah ?
    Ukara iku ora tau ana ing pikiranku nalika aku sakanca ana ing papane lonthe-lonthe sing kawentar jenenge ana desaku, Blibis. Kanthi nggawa dhuwit rongpuluhan ewu, cukup kanggo nggawe ati seneng. Ngucap tresna sing semu marang para kenya sing temata ana ing kamar-kamar omah kuwi. Nglegani rasa lanang sing tak kudang-kudang saben wengine. Lan tumetese kringete wong loro nandaake tresna sing kebangun cukup ditutupi lembaran dhuwit sing tak gawa.
Murti ?
    Ya, Murti salah sawijining kenya sing tak kenal ana ing Blibis. Ora ana sing ngerti teka ngendi asale wong wedhok iku, klebu sing dadi germone papan iku. Sing dimangerteni wong lanang kang teka, sapa wae sing ana kono iku ora penting dimangerteni asale lan sapa arane, mung rasa lanang kang dadi paunjeran tumindak.
    Murti tak kenal dadi salah sijine wadonan kang nate tak tumindaki. Panyikep rasa lanangku. Ora mung sepisan, nanging bola-bali. Nanging katresnan sing dibangun mung sauntara, cukup nganggo dhuwit kabeh mau bubar. Tilase ora ana. Bubar aku, Murti andon asmara karo pawongan liyane, lan uga pawongan liya-liyane ing wengi-wengi sakteruse.
    Aku ngawini lonthe. Kanthi sah.
    Aku mumet. Tambah mumet.
    Dhumadakan aku krungu suara rame banget. Aku ngadhek, supaya trawaca anggonku ndeleng. Katon obor pirang-pirang mlaku kaya semut. Kahanan tambah rengeng, kebak suara-suara kang pating cleper, cemruwet kanthi ukara kasar lan nesu.
    Semut-semut obor iku nyedaki papanku lungguh. Suarane tansaya cetha. Suarane wong kang padha nesu ditambahi suara kemlontange pentung lan gaman. Wong-wong iku tansaya cedhak. Aku banjur njupuk tas kresek sing tak cantolake banjur mlayu saka papan iku.
     " Maling !" , salah sijine pawongan nuding marang aku.
    " Iku malinge ! Ayo dioyak !"
    " Pateni wae."
    Banjur obor-obor mau mlayu neng arahku. Tansaya takbanterake anggonku mlayu. Aku pingin uwal teka kahanan iki, aku isih pengin urip. Aku mlayu, neng aku lali menawa dalan sing tak idak dudu porselen, nanging lemah sing kebak watu. Sikilku nyendal watu. Aku tiba lan mlumah.
    Suarane wis cedhak kupingku. Suara-suara kang pengin marang patiku. Lan obor-obor ngupeng aku sing mringis neng tengah kalangan. Kaya pitik sing kalah tarung.
    Tak deleng kiwa tengen, katon praupan-praupan peteng sing ora tak tepungi sakdurunge. Aku ngadek kanthi kangelan. Sikilku metu getihe.
    Dumadakan sirahku krasa lara. Ana wong sing ngantem sirahku ngango pentung. Lan lara-lara iku krasa ana ing weteng, tangan, kuping, sikil dan gegerku.
    Aku tiba maneh. Sirahku mumet lan krasa teles. Getih.
    Aku nyoba menyat, ngadek maneh. Aku wis pasrah marang sih nggawe urip. Pasrah marang patiku.     Ana ing ngarepku katon Murti ngawe-awe aku kanthi tangis, nanging tansaya adoh lan tansaya peteng, sakteruse banjur ilang. Banjur lara nunjem ing dadaku.
    Aku ambruk.
--------------------------------------------------------------
    Murti katon nangis ana ing ngarepku. Ora kaya biasane Murti sing tak kenal nalika dadi lonthe sing tansah ngguyu, saiki kebak tangis. Murti tak elus sirahe.
    "Kangmasmu njaluk pangapuramu, Murti. Wis nglilaake apa kang digarisake. Nguciwani tresnamu marang aku, agawe cubriya marang liya. Murti."
    Nanging Murti mung meneng wae sajak ora weruh aku. Dheweke mung nyebar kembang lan kanthi tangis nyiram lemah neng ngarepe. Makam anyar ngango jenengku ana maesane.
    " Pangapuranen aku, mas. Asing agawe patimu,mas. Aku wis ora betah maneh urip sesandingan karo kowe. Aku tetep mbok anggep lonthe, dudu bojo. Bener omonganmu, wis ana pawongan liya sing ngrebut aku teka atimu. Pangapuranen aku, mas."
    Murti menyat saka lungguhe banjur ana wong lanang bagus ngrangkul sirahe. Ngerem-ngerem anggone nangis banjur ninggalake papan kuwi.
    Aku tambah mati.
    Takdeleng Murti katon nglirik aku lan mesem sajak seneng.
    Aku wis mati lan kalah karo lonthe.
neng kiwone makam, 20 maret 2003


Aduh

    Jam setengah nem esuk aku tangi turu. Mripatku katon kriyip-kriyip abang. Banjur menyat mlaku menyang kulah, ngraupi praupanku sing sewengi nutug ngimpi nyenengake, mlaku-mlaku neng sawah bebarengan karo Intan, lan ngumbulke layangan. Seneng aku.
Ibuku bola-bali nesu, amarga aku tansah tangi karipan. Aku mung diomeli saben esuk. Sing diseneni mung isa meneng wae. Pasrah.
    "Bocah kok kesed. Diomongi bola-bali, ojo karipan. Tepat waktu. Eee, malah nyengkake turu. Kaya ora ana penggaweyan wae. Kana nggek sarapan dhisik."
    Mung iki sing aku manut. Mangan esuk. Tempe goreng lan sambel pecel. Sega anget tambah suara lagu india teka kamar tanggaku kulon omah. Sajake nyetel lagune film Chori chori Cutkhe-chutke. Banjur aku kelingan si Preity Zinta sing katon ayu neng film iku. Hm, kaya Intan sajake. Ah, aku mangan wae.
    Aku adus neng kulah. Saiki gampang ora kaya dhisik, jaman sakdurunge tuku mesin sanyo. Saben isuk aku mung munggah mudhun ngangsu banyu, nambah otot neng lengenku supaya ketok pating pethokol. Pendekar tenan. Saiki mung nyekel stop kontak, diremes banjur byur, banyune metu dhewe. Tanganku wis ora pethokol maneh, wis dudu pendekar.
    Sabune ketok cilik banget, amarga dianggo ngedusi wong pirang-pirang. Aku, bapakku, ibukku, lan adikku wedok sing lagi umur patbelas taun. Takgosok-gosokne neng weteng kok wis ora munthuk maneh. Banjur tak buwang, tak ganti shampo sing dicepitake ana 
ing angin-angin. Tak anggo sabunan. Sing penting munthuk. Pendekar kok.
    Adikku lagi tangi nalika aku metu saka kulah. Mripate katon mbendul abang, pipine kebak iler pating temotlok, wajahe katon berminyak, mlebu neng njero kulah. Weh, kaya ngene kok ditaksir cowok akeh.
    Brot !!! brot !!!.
    Suarane teka njero kulah. Aku mengkirig.
    " Heh, suarane ditata, Nin." Ibu katon duka," Bapak lagi dahar lho."
Nanging wis ora ketulungan maneh. Bapak katon mutah-mutah neng piring.
 " Mboten napa-napa, bu. Namung kirang sepuluh menit mawon." Nin, adikku cemuwit teka njero kulah. Banjur suara-suara iku keprungu maneh.
    Bapak tansaya mutah-mutah. Ibu mung njupuk panci banjur didelehake ana ngarep kulah.
    " Dianggo wae panci iki, Nin. Kanggo wadah, lumayan isa kanggo pupuk." ngendikane ibuku.
    Lawang kulah mbukak setitik banjur ana tangan njupuk panci iku. Lawang kulah ketutup maneh.
    Bapak malah wis semaput. Ibukku ngguyu seru banget. Aku mlaku karo ngguyu, pamitan lan mangkat sekolah. Mengko ketemu Intan sing ayu. Aku mung mesem seneng. Intan, o Intan.
-----------------------------
    Omahku ora adoh saka sekolahanku SMA. Setengah kiloan jarake. Ning sing paling tak wedeni iku mung nalika mlaku ana ing ngarepe omah dhuwur wetan omah. Ana asune gedhe-gedhe. Galak lan gampang nyokot bokong bocah cilik.
    Kanthi alon-alon aku mlaku neng ngarepe omah iku, wedi nek assune padha metu pekarangane sing ora dibeteng.
    "Guk-guk."
    Walah, asu nem metu kabeh nganggo untu mingis-mingis katon putih, iler kang ndleweran ana ing cangkeme. Aku njengkirat kaget.
    " Hayo, wani po karo aku."
    Aku ngomong tak tatag-tatagne atiku karo jumingkat mundur. " Aja ngoyak nek bener asu."
    "Guk !!!"
    Asu nem mlayu kabeh nekani aku. Walah aku banjur mlayu sipat kuping. Asu nem mau banjur meneng ora ngoyak aku lan njegog maneh nalika prawan lemu njebubuk sing nduwe omah dhuwur metu karo bengok-bengok nggawa bathang pitik sing katon ngatang-ngatang dicekel sikile.
    "Bleky, Johen, Gresy, kam hier plis. Ter is fut for yu. Moon and Shakty, oh mai got we ris Sha? Sha ! o tat is yu. Ndis is fut. Kam kam."
    Asu nem marani prawan mau. Aku mengkirig. Nanging prawan mau noleh neng aku banjur ngomong," du yu won tu it ndis fut. Feri delisius," karo nggawa bathang tikus wirog. Weladalah, aku diarani asu.
    Tekan ngarep lawang sekolahan sing sisih mburi aku kaget. Lawang isih kekunci. Tak obok-obok, nanging sing metu mung bojone pak kebon.
    "Isih durung isa dibukak kok mas."
    " Sampun tigang ndinten lho bu."
    " Nggih mas, ngendikane pak kepala kunci digondol wewe gombel seminggu kepungkur, mas."
    " Niku rak Suci putrine pak kepala, bu."
    " Mboten wonten, mas. Kula mboten gadah guci. Kagem napa to mas?"
    Aku mlengos. Pancen repot ngadepi wong siji iki. Rada suwung tur budheg.
    Sikilku kesandung watu. Duk. Tak deleng mangisor, lho dudu watu to. Nanging anglo kebak menyan, bekas diobong lan suwekan kertas sing kebak nomer.
    " Niku mas, wiwit kuncine ilang kok kathah wong padha mbakar menyan neng ngarep niki. Pados nomer sing jos ngendikane."
    Utekku njeblos. Apa hubungane nomer karo lawang sekolahanku.
    " Kan lawang niki nggih gadhah nomor pintu to, mas. Lha niku nomere."
    Utekku tambah njeblos.
    Aku semaput, kaya bapakku.
    Dina iku aku ora mlebu sekolah lan ora ketemu Intan. 
Muhajirin Camp, 10 maret 2003


Copyright© Teater Puspanegara     
2003